Rabu, 06 April 2011

Menyoal Problematika Ahmadiyah dan Operasi "Sajadah"

Masih hangat dalam ingatan kita tentang ditetapkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung sebagaimana yang kita kenal dengan istilah SKB 3 Menteri. SKB sendiri merupakan bentuk ketegasan pemerintah menyoal permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indoneisa (JAI) yang ditetapkan pada hari Senin, Tanggal 9 Juni 2008. Adapun isi dari Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008) tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, adalah sebagai berikut :

Kesatu:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran itu.

Kedua:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga:
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

Keempat:
Memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI.

Kelima:
Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum keempat dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keenam:
Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.

Tindak lanjut dari adanya SKB tersebut adalah lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) di daerah Jawa Barat (Pergub Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Jawa Barat), Jawa Timur (Surat Keputusan (SK) Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur), Banten (Pergub Nomor 5 Tahun 2011 tentang larangan aktivitas anggota jemaat Ahmadiyah di wilayah provinsi), Sumatera Barat (Pergub Nomor 17 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah Sumtera Barat), dan sejumlah daerah lainnya. Adapun berbicara mengenai Operasi “Sajadah” adalah suatu bentuk implementasi dari produk kebijakan diatas, yang secara konstitusi diperkenankan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah terdapat beberapa pihak yang mempermasalhkan keabsahan SKB 3 Menteri dan Peraturan Daerah (Perda) atau Pergub tersebut, seperti halnya pemberitaan yang dilakukan oleh Media Indonesia dan Metro TV terkait editorial berjudul “Negeri yang Terbolak Balik” pada tanggal 16 Maret 2011, yang dianggap tidak aktual dan kredibel serta begitu tendensius memojokan mayoritas perasaan umat Islam. Sehingga, pembertitaan semacam itulah serta hal-hal terkait lainnyalah yang kerap kali dan terus menerus memecah kerukunan umat Islam pada khususnya dan umat beragam pada umumnya.

Sebagaimana yang diutarakan dalam bedah Editorial Metro TV dan Media Indonesia pada tanggal 16 Maret 2011, yang secara tendensius meragukan keabsahan produk kebijakan daerah dan SKB 3 Menteri merupakan suatu hal yang wajar apabila dilihat dalam konteks Konstitusi UUD RI 1945, karena memang sejatinya diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUD RI 945, bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Namun, yang perlu dipahami permasalahan Ahmadiyah adalah permasalahan penodaan agama karena telah melakukan interprestasi yang menyimpang dari keyakinan (aqidah) atau pokok-pokok ajaran islam sebagaimana fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Memang fatwa MUI tidak termasuk hirarkhi hukum positif Indonesia, namun kedudukanya adalah sebagai sumber ketetapan (ijm’ ulama) dalam menjalankan keyakinan dan ibadah bagi umat islam Indonesia. Sehingga, patutlah bagi Ahamdiyah yang telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari pokok-pokok ajaran Islam untuk mendapat peringatan dan tuntutan untuk kembali kepada ajaran Islam sebagaimana mestinya. Jika Ahmadiyah keberatan dan terus berlindung dibalik konstitusi UUD 45 Pasal 29 ayat 2, prinsip-prinsip Bhineka Tungga Ika, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejatinya tidak pada tempatnya dibahas dalam permasalahan ini, maka tentu Ahmadiyah telah nyata-nyata melakukan penistaan agama dengan bukti pengakuan adanya Nabi baru yaitu Mirza Gulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah), yang mana hal ini bertentangan dengan keyakinan umat Islam pada umumnya dan telah terang-terangan melanggar UU no. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaa dan/ atau Penodaan Agama.

Terkait mengenai Perda atau Pergub yang melarang aktivitas Ahmadiyah oleh beberapa Kepala Pemerintah Daerah, adalah sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2010 tentang Otonomi Daerah dinyatakan bahwa persoalan agama merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun, pemerintah provinsi merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2010 tentang Kewenangan Gubernur. Dalam aturan ini dijelaskan bahwa gubernur memiliki kewenangan untuk membuat peraturan sendiri perihal daerahnya, termasuk perda tentang Ahmadiyah. Meski peraturan tentang agama sebenarnya menjadi kewenangan pusat, atas perintah SKB 3 Menteri, pemerintah provinsi menegaskan kembali dengan menerbitkan Pergub seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya. Oleh karena itu, ini tidak ada yang salah dengan Perda atau Pergub tersebu. Bahkan, keharidan Pergub tersebut justru dapat melindungi kepentingan hak asasi manusia bagi pengikut Ahmadiyah dari tindak kekerasan yang mengancam keselamatnya sesuai SKB 3 Menteri No. 3 tahun 2008. Karena jika pengikut Ahmadiyah mematuhi 12 butir pernyataan dan kesepakatannya sendiri serta mematuhi SKB 3 menteri untuk tidak melakukan aktivitas Ahmadiyah. Maka secara otomatis umat Islam yang kontra dengan Ahmadiyah tidak punya alasan untuk melakukan pengrusakan dan tindak anarkis lainya terhadap jamaah Ahmadiyah. Dengan demikian terjadi rasa aman. Adapun ke-12 Pernyataan JAI, yang kerap kali dilanggarnya sendiri adalah :

1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah ;

2. Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup) ;

3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW ;

4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah ;

5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa :
1. tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad ;
2. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani ;

6. Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908) ;

7. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan ;

8. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah ;

9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun ;

10. Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan ;

11. Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ;

12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.

Permasalahan lainnya yang menyebabkan semakin runcingnya isu SARA Ahmadiyah ini bukanlah terkait pelaksanaan Operasi “Sajadah” sebagai mana yang dihembuskan baru-baru ini. Namun, permasalahan utama adalah tidak tegasnya sikap pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY sehingga munculah produk kebijakan SKB 3 Menteri dan sejumlah Perda yang kerap dikonfrontir oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, Presiden SBY telah bertindak inkonstitusi, dengan tidak bertanggung jawab dan mengambil sikap atas permasalahan Ahmadiyah hanya karena Presiden SBY takut dianggap tidak pro demokrasi dan takut melanggar HAM. Akibatnya, niat baik itu justru sangat fatal bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena ternyata Alhamdiyah telah menyimpang dan telah melakukan penodaan agama Islam. Sehingga muncul gejolak sosial dan mengganggu ketertiban umum. Seharusnya Presiden mengambil hak politiknya untuk menerbitkan surat Keputusan Presiden tentang larangan Ahmadiyah di Indonesia dan pengurus Ahmadiyah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama islam sesuai UU no. 1 tahun 1965 dan KUHP 156 a jo. Pasal 55 tentang penistaan agama secara bersama-sama. Sehingga, wajar kiranya apabila timbulnya gejolak sosial bermuatan agama ini disebabkan oleh lemahnya sikap pemerintah dalam bertindak.

Namun, Jika saja Presiden SBY sejak awal segera membuat Keputusan Presiden tentang larangan Ahmadiyah, maka dipastikan umat Islam akan terjaga kerukunanya. Tidak terganggu oleh isu-isu SARA yang selama ini justru seperti dipelihara untuk memojokan umat Islam Indonesia, misalnya kejadian di Cikeusik, Presiden malah membuat pernyataan bahwa ormas anarkis harus di bubarkan. Ini seperti “gatal dipunggung, tapi kaki yang digaruk”. Apabila sikap Presiden seperti ini terus, maka kesan dimasyarakat bahwa presiden adalah penganut Islam Ahmadiyah. Benarkah? Mestinya presiden secara konfrehensif mengambil keputusan untuk segera menerbitkan KEPRES larangan Ahmadiyah dan mengadili pimpinan Ahmadiyah dengan tuduhan penodaan agama Islam sesuai UU no. 1 tahun 1965. Organisasi JAI dibubarkan dan pengikutnya diberikan perlindungan dan bimbingan oleh instansi/lembaga berkompeten. Bukan malah diintervensi oleh pihak Jaringan Islam Liberal (JIL) yang saat ini justru mendapat simpati publik atas peristiwa bom buku yang meledak dan mengakibatkan seorang anggota POLRI luka parah. Sayangnya presiden hampir sudah dipastikan tidak akan berani menerbitkan KEPRES itu hingga akhir jabatannya pada tahun 2014 nanti, karena takut dicap oleh pihak luar negeri sebagai anti demokrasi dan anti HAM. Rupanya presiden pun lebih loyal kepada pihak asing dari pada loyal kepada umat Islam Indonesia sendiri. Presiden lebih memilih “amal jariyah” membela Ahmadiyah yang jelas-jelas sesat, dari pada memilih “amal jariyah” kekuasaanya untuk melindungi umat Islam dari sesatnya Ahmadiyah.

Sejatinya problematika SARA diatas tidak lah perlu terjadi apabila negara ini, terutama pemerintahannya diisi oleh orang-orang yang bertanggungjawab, serta menjalankan Islamnya secara fungsional. Sehingga, para pemimpin negeri ini melakukan suatu perubahan yang revolusioner dengan merubah atau mengganti penerapan hukum kolonial Belanda beserta sistem hukum dan HAM-nya sekaligus, dengan sistem hukum dan HAM-nya yang sesuai dengan Pancasila, sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, serta ketentuan :

UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah Negara hukum;

dan UUD 1945 Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara;
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.

Makna yang terdalam dari perubahan ini adalah mengacu kepada sila ke-1 Pancasila kemudian dikuatkan oleh Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika menurut Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah Swt. Adapun Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) adalah:

Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” ;

UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Jadi, konsekuensi logisnya Negara Republik Indonesia harus mau dan rela diatur oleh hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., serta dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan menurut selera para penguasa yang sedang berkuasa dan juga harus menjaga keutuhan NKRI sebagaimana perintah sila ke-3 Pancasila.

Sedangkan mengenai pelaksanaan Operasi “Sajadah”, janganlah dipandang sebagai sesuatu yang melanggar Konstitusi, melanggar Kebhinekaan, melanggara HAM atau bahkan hingga dituduh sebagai suatu upaya intimidasi dan provokasi. Namun, hal tersebut haruslah dipandang sebagai suatu hal yang positif sebagai bentuk itikad atau niat baik kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menyadarkan para pengikut Ahmadiyah dari kesesatan serta untuk menjaga dan menciptakan ketertiban dan kerukunan umat Islam dan antar umat beragama pada umumnya.