Rabu, 23 Februari 2011

ADVOKASI HUKUM JURNALIS : PERAN JURNALIS DALAM SUPERMASI HUKUM

PENGANTAR

Pasal 28F UUD RI 1945 :

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Berangkat dari ketentuan Konstitusi tersebutlah menjadi dasar dari pentingnya peran penulis dan para jurnalis untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat melalui penyampaian berita-berita yang faktual dan berkualitas, hal mulia ini tentunya yang menjadi salah satu landasan dari kehadiran beragam Organisasi Jurnalis, yakni suatu kewajaran bahkan keharusan berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28 yang menggariskan :

“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal tersebut pulalah yang mendorong disusunnya suatu Undang-Undang yang menjamin kebebasan untuk berpendapat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan sesuatu hal yang penting yang harus dilindungi. Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kegiatan jurnalisme tersebut diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Begitu pentingnya arti suatu kebebasan mengutarakan atau menyampaikan pendapat yang dalam hal ini diartikan sebagai kebebasan atau kemerdekaan pers tentunya membuat para penulis dan jurnalis memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun Negeri ini, tidak terkecuali dalam hal supremasi hukum atau penegakan nilai-nilai keadilan dan norma hukum di Indonesia, karena pada dasarnya kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Oleh karena itu, perlu kita sadari bersama bahwasanya kemerdekaan pers tersebut haruslah dijalankan dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers tersebut merupakan kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi oleh para penulis maupun jurnalis lainnya yang disertai dengan hati nurani insan pers dalam menjalankan profesinya tersebut.


POKOK PERMASALAHAN


Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi :

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 dan 12 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yaitu :

Butir 11

“Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya”.

Butir 12

“Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain”.

Dimana hal tersebut dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan/atau oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara, disinilah salah satu peran penting yang dapat dilakukan seluruh Organisasi Jurnalis yakni menjadi organisasi kontrol sosial (organization social control) yang memantau serta melindungi tidak hanya kepentingan para jurnalis maupun penulis tetapi juga kepentingan keadilan di masyarakat serta norma-norma hukum yang ada.

Sebagai suatu wadah organisasi bagi para penulis dan jurnalis tentunya harus menghormati kode etik jurnalistik yang ada, antara lain sebagaimana berikut :

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar ;

2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar ;

3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya ;

4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya ;

5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat ;

6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen ;

7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo ;

8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat ;

9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur ;

10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya ;

11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat ;

12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual ;

13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi ;

14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan. (Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik) ;

15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak ;

16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik ;

17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas ;

18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

Dengan ditegakkannya kode etik profesi jurnalistik ini diharapkan mampu menghasilkan para penulis dan jurnalis yang tentunya memiliki kualitas insan pers yang berkualitas.

Kerap kali terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik pada prakteknya baik yang dilakukan oleh sumber berita, pemerintah maupun para insan pers itu sendiri dan ketika seorang insan pers bermasalah dengan pemberitaannya, yaitu sumber/objek pemberitaan merasa keberatan dengan pemberitaan atau cara-cara yang dilakukan oleh jurnalis, sehingga insan pers baik personal maupun institusi selalu membawanya kedalam lingkup Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sementara sumber/objek pemberitaan selalu menuntut hal ini menjadi suatu delik pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk menambah suatu khazanah pengetahuan, perlu untuk dicermati bahwasanya terkait permasalahan seputar dampak pemberitaan tersebut dalam sudut pandang delik terbagi menjadi 2 kategori, yaitu :

• KLACHDELICT, yaitu suatu bentuk pemberitaan yang merugikan nama baik seseorang/individu karena merasa difitnah, dipojokkan dan dihina, dimana pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat menuntut surat kabar.

• PERSDELICT, yaitu suatu bentuk pemberitaan yang merugikan kepentingan umum atau negara (stabilitas) seperti melanggar ketertiban umum atau berita bohong.

Tentunya didalam KUHP terkait delik pers ini diatur dalam beragam bentuk delik seperti membocorkan rahasia Negara (Pasal 112 KUHP), membocorkan rahasia Hankam (Pasal 113 KUHP), Penghinaan terhadap presiden dan Wapres, Penghinaan terhadap raja atau wakil Negara sahabat, Penghinaan terhadap wakil Negara asing, Permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah, Pernyataan kebencian, permusuhan dan penghinaan golongan, Permusuhan, penodaan dan penyalahgunaan agama, Penghasutan, Penawaran tindak pidana, Penghinaan terhadap penguasa dan badan umum, Pelanggaran kesusilaan, Pencemaran nama baik seseorang, Pemberitaan palsu.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada umumnya insan pers tidaklah setuju persoalan pers ditarik ke delik pidana, karena insan pers menganggap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 merupakan Lex Specialis dari KUHP sebagai bentuk Lex Generalis, akan tetapi perlu untuk diketahui bahwa Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidaklah disusun berdasarkan delik hukum pidana, sehingga Undang-Undang tersebut tidak serumpun dengan Undang-Undang tentang KUHP. Selain itu, ditambahkan pula bahwa azas hukum yang berlaku umum adalah suatu perundang-undangan sederajat tidak dapat membatalkan ketentuan dalam perundangan lainnya, apalagi kedua perundangan tersebut tidak berada dalam rumpun yang sama.

Fakta diatas memperlihatkan masih mudahnya kemerdekaan mengutarakan pendapat dalam hal ini khususnya Pers untuk dikekang, meskipun Secara umum, sejak reformasi 1998, pers Indonesia relatif tidak mengalami pengekangan yang berarti, khususnya dari pemerintah. Namun bukan berarti kebebasan pers tidak mendapat ancaman. Musuh kebebasan pers Indonesia saat ini justru lebih banyak berasal dari kalangan bisnis maupun masyarakat sendiri. Kekerasan pada jurnalis, masih sering terjadi. Bahkan di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai bertiup angin dari negara untuk mengendalikan kembali pers lewat berbagai perundangan yang ada (contoh UUITE, RUU Pemilu, dll). Negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang-Undang (UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310, 311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan atau nama baik yang tercemar.
Akan tetapi andaikata seluruh insan pers, dalam hal ini IPJI pandai bercermin dan terus mengintrospeksi diri untuk kemajuan bersama dalam menjalankan profesinya dengan memegang kuat kemerdekaan pers sebagaimana yang dicita-citakan dalam UU Pers No.40 Tahun 1999, antara lain dalam :

Pasal 5 ayat (1)

“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.

Pasal 6

“Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan ;

c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar ;

d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum ;

e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran”.

Maka akan dengan mudah dihindari segala kemungkinan konflik yang sering terjadi, karena setiap insan pers selalu mempertimbangkan sisi lainnya, yaitu keadilan yang harus juga dimiliki oleh masyarakat dan sumber/objek berita.


PENUTUP

Sebagai suatu penutup, bahwasanya kemerdekaan pers bisa saja diartikan baik maupun buruk layaknya dua sisi mata uang. Oleh karena itu, dengan pembahasan diatas dan hadirnya beragam Organisasi Jurnalis ditengah-tengah masyarakat, kita berharap agar tidak ada lagi pengekangan terhadap kebebasan berpendapat atau kemerdekaan pers, akan tetapi bukan berarti kemerdekaan pers itu diartikan sebebas-bebasnya tanpa ada norma apaun yang mengayominya, karena apabila dilihat dari Pasal 28 UUD 1945 maka seharusnya insan pers dapat memahami dan mengerti dengan baik, bahwasanya kebebasan yang merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, harus pula dijalankan dengan memenuhi kewajiban untuk menghormati hak-hak warga Negara Indonesia yang lainnya secara berimbang, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.

MEMBENTUK GENERASI MUDA REVOLUSIONER

"Beri saya seribu orang tua, saya bersama mereka kiranya dapat memindah gunung. Tetapi apabila saya diberi sepuluh pemuda yang bersemangat dan berapi-api, kecintaanya pada bangsa dan tanah air tanah tumpah darahnya, saya akan dapat mengguncangkan dunia".

(Ir. Soekarno)

Pengantar

Pernyataan diatas sebagaimana yang disampaikan founding father, Ir. Soekarno seakan-akan menegaskan pentingnya peranan pemuda dan pemudi dalam membangun kehidupan ini, tidak hanya kehidupan bangsa dan negara tetapi juga kehidupan dan kelangsungan agama Islam. Islam sendiri merupakan agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda, sebagaimana perhatian yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW, yang bersabda :

“Saya wasiatkan para pemuda kepadamu dengan baik, sebab mereka berhati halus. Ketika Allah mengutus diriku untuk menyampaikan agama yang bijaksana ini, maka kaum mudalah yang pertama-tama menyambut saya, sedang kaum tua menentangnya?”.

(Al Hadist)

Al-Qur’an sendiri banyak menceritakan tentang potret para pemuda, antara lain kisah ashaabul kahfi sebagai kelompok pemuda yang beriman kepada Allah SWT dengan meninggalkan mayoritas kaumnya yang menyimpang dari agama Allah SWT, sehingga Allah SWT menyelamatkan para pemuda tersebut dengan menidurkan mereka selama 309 tahun (Q.S 18). Selain itu, terdapat pula kisah pemuda ashaabul ukhdud dalam Al-Qur’an yang juga menceritakan tentang pemuda yang tegar dalam keimanannya kepada Allah SWT sehingga menyebabkan banyak masyarakatnya yang beriman dan membuat murka penguasa sehingga ratusan orang dibinasakan dengan diceburkan ke dalam parit berisi api yang bergejolak (sabab nuzul QS ). Dan masih banyak lagi contoh-contoh kisah para pemuda lainnya, diantaranya bahwa mayoritas dari assabiquunal awwaluun (orang-orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah SAW) adalah para pemuda, sebagaimana Hadits diatas (Abubakar Ra masuk Islam pada usia 32 tahun, Umar Ra 35 tahun, Ali Ra 9 tahun, Utsman Ra 30 tahun, dll) .

Sifat-sifat yang menyebabkan para pemuda tersebut dicintai Allah SWT dan mendapatkan derajat yang tinggi sehingga kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an dan dibaca oleh jutaan manusia dari masa ke masa, adalah sebagai berikut :

1. Mereka selalu menyeru pada al-haq (QS 7/181) ;

2. Mereka mencintai Allah SWT, maka Allah SWT mencintai mereka (QS 5/54) ;

3. Mereka saling melindungi, menegakkan shalat (QS 9/71) tidak sebagaimana para pemuda yang menjadi musuh Allah SWT (QS 9/67) ;

4. Mereka adalah para pemuda yang memenuhi janjinya kepada Allah SWT (QS 13/20) ;

5. Mereka tidak ragu-ragu dalam berkorban diri dan harta mereka untuk kepentingan Islam (QS 49/15).

Namun, apabila kita menyaksikan kondisi mayoritas pemuda-pemudi Islam saat ini, khususnya para pemuda-pemudi di negera Indonesia ini maka terlihat bahwa sebagian besar pemuda-pemudi berada pada keadaan yang sangat memprihatinkan, mereka bagaikan buih dilautan yang terombang-ambing, tidak memiliki bobot dan tidak memiliki nilai dan arti.

“Maka datanglah setelah mereka generasi yang lemah, yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat, maka mereka akan menemukan kesesatan”.

(QS Maryam : 50)

Mungkin ayat diatas cukup menggambarkan bagaimana keadaan dan kondisi generasi muda saat ini yang banyak terlena oleh kehidupan atau kesenangan dunia dan kepentingan syahwatnya semata, lantas bagaimana kita dapat melakukan rekonstruksi peran pemuda ditengah-tengah krisis multidimensi yang dialamai bangsa Indonesia ini?. Dalam hal ini, Islam sebagai way of life dengan Al-Qur’an nya telah memberikan jawabannya yaitu :

"Katakanlah; Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang".
(QS Azzumar : 53)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka”.

(QS Ar-Ra’d : 11)

Dari kedua ayat Al-Qur’an diatas kiranya terjawab apa yang harus dilakukan oleh para pemuda di negera Indonesia ini agar terbebas dari belenggu krisis multidimensi yang hingga saat ini tengah menggerogoti pondasi kenegaraan bahkan menimbulkan perpecahan dan berbagai macam konflik bangsa, hanya satu kata REVOLUSI adalah jawabannya.

Problematika Pemuda Indonesia

“Pemuda adalah simbol hati yang masih jernih sehingga memiliki keyakinan dan iman yang kuat, kejujuran yang memungkinkan untuk memiliki ketulusan dan keikhlasan dalam beramal, serta semangat yang menggebu yang memungkinkan untuk beramal dengan sungguh-sungguh dan penuh dengan pengorbanan?”.

(Hasan Al Banna)

“Gelora pemuda adalah romantisme perjuangan. Mereka senantiasa hendak menunjukkan diri sebagai manusia yang berarti yang dapat memikul tanggung jawab berat. Mereka berusaha memunculkan diri sebagai manusia yang memiliki poweritas,sehingga eksistensi jiwa mudanya benar-benar memancar?”.

(Abdullah Nasih 'Ulwan)

Pernyataan Hasan Al-Banna dan Abdullah Nasih diatas menggambarkan bahwasanya betapa berpotensinya setiap diri seorang pemuda, yang memiliki potensi dan kesempatan yang begitu besar untuk melakukan perubahan atau revolusi. Namun, sayangnya hal tersebut tidaklah diikuti dengan kesadaran dan tanggungjawab yang seharusnya diemban oleh pemuda Indonesia, hal ini dikarenakan tidak adanya figur teladan di Indonesia yang ideal dan revolusioner serta dapat dijadikan panutan bagi para pemuda. Ketidakadaanya figur teladan tersebut akbiat telah hilangnya jati diri keislaman para pemimpin dan para elite muslim, rakyat pun terbelenggu dengan kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan di tengah melimpah ruahnya karunia dan rizki alam yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan luhur bangsa sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, hanya menjadi amanah tanpa makna karena langkanya para pemimpin dan elite bangsa yang revolusioner. Para pemimpin dan elite bangsa ini lebih banyak menampilkan bangsa sebagai bangsa yang tidak bermartabat dan memalukan. Bahkan bila mengikuti kriteria hadis Nabi SAW tentang orang munafik, elit bangsa ini memang lebih banyak yang munafik daripada yang mukmin (benar antara perkataan dan tindakannya).

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat”.

(HR. Bukhari)

Untuk mencari sosok teladan tersebut maka kita perlu melihat suatu ideologi yang dibawanya. Terdapat beragam macam ideologi, antara lain Ideologi Komunisme, Sosialisme, Nasionalisme, Kapitalisme atau bahkan Pancasilaisme, namun yang menjadi pertanyaanya adalah siapakah sosok yang bisa dijadikan teladan bagi orang-orang yang menganut pandangan ideologi-ideologi tersebut?. Kita semua dapat memastikan bahwa dari tampilan sosok contoh teladannya dari masing-masing ideologi tersebut pastilah tidak ada yang bisa disebut siapa sosok idealnya tersebut.

Namun, berbeda apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada ideologi Islam, maka jawabannya sangat jelas, yaitu Nabi Muhammad SAW, sosok teladan yang teruji secara sejarah kemanusiaan bahkan terpercaya dalam kehidupannya dan sejarah dunia telah mengakui bahwa Rasulullah SAW adalah sosok manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan, dimana beliau mampu menata diri, keluarganya, kerabatnya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya serta seluruh ummat manusia di seluruh dunia yang sampai hari ini ¬+ 2 milyar manusia beriman dan bersalawat kepadanya, itulah sosok teladan yang tidak terbantahkan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

(QS. Al-Ahzab : 21)

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.

(QS. Al-Ahzab : 56)

Nabi Muhammad SAW merupakan satu-satunya teladan yang sempurna yang patut dicontoh oleh segenap ummat Islam, khususnya bagi para pemuda Islam di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan beliau mampu menerapkan ajaran Allah SWT (Islam) sesuai dengan fungsinya, atau yang dikenal dengan Islam Fungsional dimana hal ini merupakan pelaksanaan dari iman, Islam dan ihsan yang mana muatannya itu berupa tata nilai yang isinya :

1. Keilmuan
2. Kejujuran
3. Keadilan
4. Kedamaian
5. Kesejahteraan
6. Ketertiban
7. Kesetaraan
8. Kemerdekaan
9. Keselamatan

Dengan demikan, dengan adanya sosok teladan dari penerapan ajaran Islam yang fungsional, maka Islam bukan lagi suatu ajaran untuk satu golongan saja. Islam merupakan ajaran dari Allah SWT yang diajarkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, kemudian disampaikan kembali oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam dakwahnya hingga sampai kepada ummat manusia pada hari ini. Dengan kata lain, Islam merupakan tata nilai yang diciptakan oleh Allah SWT yang berfungsi untuk mengatur kehidupan secara totalitas, alam dan manusia agar tercipta semua aspek kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, sampai kepada hal-hal sekecil apapun dengan baik dan seimbang. Universalisme Islam bukanlah menjadi milik rahmatan lil’ alamin, rahmat bagi seluruh semesta alam.

Islam Fungsional Sebagai Jati Diri Pemuda Revolusioner

Sebenarnya sudah banyak dan nyata bagaimana kandungan syariat Islam bisa menjadi solusi bagi berbagai permasalahan manusia, tidak terkecuali bagi permasalahan pemuda bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hendaklah dibangun satu paradigma berpikir yang benar di dalam melakukan perubahan terhadap kondisional objektif bagi bangsa yang sedang terpuruk ini. Paradigma berpikir yang dimaksud adalah kemampuan dari kaum muslimin, tidak hanya para pemuda tetapi seluruh komponen bangsa untuk melakukan Islam Fungsional yang didasari oleh kapasitas dan otoritas di berbagai strata manapun untuk bergerak dan berfungsi menjalankan ajaran Islam yang kita yakini kebenarannya. Namun satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bagaimana seorang muslim khususnya, bisa tergerak hati dan jiwanya untuk mewujudkan penerapan syariat tersebut. Karena kita semua mafhum, tidak sedikit orang Islam yang alergi, phobia, bahkan penghambat ketika syariat itu baru ingin diberlakukan.

Setiap muslim memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri untuk bermanfaat bagi orang lain. Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Melalui nilai manfaat tersebut tentunya diharapkan tumbuh insan-insan penggenap, dimana kehadirannya akan terasa menggenapkan dan ketidakhadirannya akan terasa mengganjilkan. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT :

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran”.

(QS Al Ashr 1-3)

Sementara otoritas, adalah kemampuan untuk menyuarakan dan menegakkan Islam yang diukur dari wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang muslim. Setiap muslim yang fungsional pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyiarkan dan menegakkan Islam sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah ia dengan tanganmu (kekuasaan), dan jika tidak mampu maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan lisanmu, dan jika tidak mampu maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan hatimu dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

(Al-Hadist)

Dari sisi otoritas, kaum muslimin baik dari kalangan pemuda saat ini banyak yang memiliki dan memegang struktur kekuasaan. Banyak tokoh-tokoh muslim muda yang menjadi pimpinan negara, pejabat negara, pimpinan partai politik, dan lain sebagainya. Seharusnya tokoh-tokoh Islam muda yang memegang struktur kekuasaan tersebut bisa fungsional dengan kekuasaan dan kewenangannya, mengupayakan syariat Islam yang diyakini. Namun sayangnya, mereka yang memiliki kekuasaan menunjukkan kecenderungan disfungsional, tidak menunjukkan komitmennya menegakkan syariat Islam, bahkan secara jelas sering menunjukkan ketidaksetujuannya memberlakukan syariat Islam, bahkan berperilaku “miring” dengan ketentuan syariat Islam.

Oleh karena itu, betapa pentingnya membentuk jati diri seorang pemuda menjadi seorang pemimpin yang revolusioner, karena di dalam Islam, kepemimpinan berarti sesuatu yang diikuti. Ia adalah seseorang yang mengepalai suatu jabatan kepala, suatu pekerjaan. Termasuk dalam istilah tersebut adalah khalifah, imam, komandan pasukan, dan sebagainya. Di dalam Al Quran, kepemimpinan ditunjukkan sebagai suatu karakter tertentu yang khas, yaitu bimbingan ke arah kebaikan, sifat bagi para nabi, dan sifat bagi orang-orang takwa.

Mengingat penting dan mendasarnya masalah kepemimpinan, maka dibutuhkan beberapa hal penting bagi calon-calon pemimpin dalam perspektif Islam, yaitu :

1. Pemimpin tersebut haruslah seorang yang taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW, jujur, berani, sehat, dan cerdas. Artinya, mempunyai kemampuan berfikir yang baik dan mendalam serta berperasaan tajam, sehingga memungkinkan dia untuk tidak memilih ideologi selain Islam yang akan diembannya. Selanjutnya dia akan berinteraksi dengan ideologi tersebut sampai mengkristal di dalam dirinya, dan dia siap untuk menyebarkannya ;

2. Pemimpin tersebut haruslah orang yang ikhlas dan berjuang semata-mata hanya untuk kepentingan ideologinya saja ;

3. Pemimpin tersebut haruslah memahami ide dan metode “perubahan yang benar” dan mampu mengaitkan antara ide dan metode tersebut ke dalam sebuah aksi ;

4. Pemimpin tersebut haruslah mampu menyatukan rakyatnya dalam sebuah ikatan yang “shahih” yang mampu mengantarkan kepada kemaslahatan / kesejahteraan bersama dan memimpin rakyatnya menuju jalan takwa kepada Allah SWT ;

5. Pemimpin tersebut juga mesti memiliki orientasi, strategi-taktik, dan fokus yang benar dan jelas untuk merubah keadaan yang tidak baik menjadi baik atau yang tidak kondusif Islamnya menjadi kondusif Islam fungsionalnya.

Islam fungsional sebagai jati diri seorang pemuda, pemimpin di masa yang akan datang sangatlah di tentukan dengan ciri-ciri sifat orang yang ikhlas akan imannya, sebagaimana digariskan dalam Surat Al-ikhlas, dimana manusia meyakini Allah SWT dengan sebenar-benarnya dengan ikhlas. Dalam hal ini terdapat tiga variabel untuk mengukur keikhlasan seseorang menerima Allah SWT sebagai Tuhannya, yaitu :

1. Mau dan rela diatur oleh hukum Allah SWT, yaitu syariat Islam ;

2. Siap dan sanggup menerima resiko dalam menegakan Islam ;

3. Istiqomah, yang ditandai dengan sikap :

a. Optimisme ;

b. Berani dan militan ;

c. Muth’mainah (tenang dan tentram jiwanya).

Untuk itu, perlu enam hal yang harus dilakukan oleh umat Islam, khususnya para pemuda muslimin secara bersama-sama guna mengimplementasikan keikhlasan untuk meyakini Allah SWT, yaitu :

1. Meningkatkan wibawa aqidah dengan segala resikonya ;

2. Meningkatkan wibawa keilmuan, untuk meningkatkan SDM umat Islam, khususnya para pemuda Islam ;

3. Memiliki kepemimpinan untuk mengubah keadaan agar lebih baik (Revolusioner) ;

4. Memiliki wibawa dana untuk menegakkan Islam ;

5. Memiliki wibawa fisik untuk berjihad di jalan Allah SWT ;

6. Memiliki jaringan kerja (networking) dengan semua pihak untuk menegakkan Islam.

Dengan merefleksikan Islam fungsional sebagai suatu jati diri pemuda, diharapkan mampu melahirkan para pemimpin-pemimpin yang revolusioner di masa yang akan datang, yang tentunya memiliki rasa kepedulian dan tanggungjawab yang besar bagi kemajuan Islam, bangsa dan negara. Karena di dalam setiap kepemimpinannya, mereka akan senantiasa mengerti bahwasanya Allah SWT akan memintai pertanggungjawabannya sebagai pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ;

“Pemimpin itu adalah penggembala dan dia akan ditanyakan tentang gembalanya.”

(Al Hadist)