Kamis, 05 Mei 2011

Kapitalisme Pasar Modern, Ancaman Eksistensi Perpers 112/2007

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa perkembangan pasar modern, setidaknya dalam kurung waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir telah mengalami perkembangan yang signifikan dan memperngaruhi kondisi perekonomian masyarakat Indonesia secara umum, karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup yang modern yang berkembang di masyarakat kita. Pada tahun 2005, menurut Bussines Intelligent Report, pasar modern seperti Hypermart, Walmart, Giant, Carrefour, dll akan menguasai pasar sebesar 38.5% dari total pasar ritel sebesar Rp. 87,5 T. Kita ambil contoh peritel terbesar dunia yang berasal dari Amerika Serikat, yaitu Walmart, pada tahun 2002 mengalami pengeluaran sebesar USD 240 M di seluruh dunia. Selain wall mart, terdapat beberapa peritel asing yang mengembangkan usahanya di Indonesia, antara lain Carrefour, Makro, Belhaize, Ahold, dan Giant. Carrefour yang berasal dari prancis mulai beroprasi ke asia pertama kali pada tahun 1989, yaitu ke Taiwan. Pada tahun 1996, ritel ini masuk ke indonesia. Dimana 10 buah di Jakarta dan 5 buah di luar Jakarta. Makro berasal dari belanda masuk ke indonesia pada tahun 1991, saat ini terdapat 12 outlet Makro di wilayah Jobedetabek dan 1 di bandung. Selain makro, dari belanda juga masuk Ahold, yang di Indonesia menggunakan nama Tops yang sudah memiliki 22 outlet (sejak akhir tahun 2005 diakuisisi Hero). Belhaize adalah hypermarket dari belgia, dimana saat ini sudah memiliki 33 outlet di kota-kota besar di jawa. Belhaize ini beraliansi dengan supermarket superindo. Yang terbaru masuk ke indonesia adalah Giant dan Hypermart yang berasal dari Malaysia. Di indonesia, Giant beraliansi Hero Super market. (Anonimous, 2007)

Hypermart, Giant, Walmart, Carrefour, Makro, dll merupakan bentuk pasar modern yang datang dari negara-negara asing. Selain itu, ada juga terdapat beberapa bentuk pasar modern yang mewakili para wiraswasta dalam negeri seperti halnya Alfamart, Indomaret, Ceriamart, dan jenis usaha sejenis lainnya yang seringkali kita temukan hampir disetiap persimpangan jalan kota. Perkembangan usaha pasar modern tersebut ternyata telah membawa kekhawatiran bagi para pelaku ataupun konsumen pasar tradisional, dimana dengan meningkatnya perkembangan usaha pasar modern tersebut justru telah membuat pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun setiap tahunnya, tercatat pada tahun 2004 jumlah kontribusi pasar tradisional sekitar 69.9%, jumlah tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang berjumlah sekitar 73,7%, penurunan tersebut terus terjadi dari tahun 2000 hingga sekarang. Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada pasar modern seperti supermarket dan hypermarket dimana kontribusi mereka kian hari kian besar. (Anonimous, 2007) Kondisi usaha dan kinerja pedagang pasar tradisional menunjukkan penurunan setelah beroperasinya beragam usaha pasar modern. Kendati persaingan antara pasar modern secara teoristis dapat menguntungkan konsumen, dan mungkin perekonomian secara keseluruhan, namun sedikit masyarakat yang menyadari mengenai dampaknya pada pasar tradisional. Hal ini penting, mengingat pasar modern seperti Hypermart, Giant, Carrefour, dll saat ini telah bersaing secara langsung dengan pasar tradisional, terlebih pasar modern saat ini tidak memiliki segmen pasar tertentu. (Harmanto, 2007)

Pada awalnya, sekitar tahun 1980-an memang kehadiran pasar modern (Supermarket, Mini Market, Hypermarket) tidaklah mengancam keberadaan pasar tradisional, justru kehadiran pasar modern menjadi salah satu alternatif pilihan dari pasar tradisional yang menyasar konsumen dari kalangan menengah ke atas, yang saat itu merasa tidak puas dengan kualitas pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas barang yang buruk, dan harga jual rendah, serta sistem tawar menawar dan pembayaran yang konvensional. Namun, sekarang ini kondisinya telah banyak berubah. Supermarket dan hypermarket telah menjamur hampir disetiap pelosok dan persimpangan jalan dapat kita temui pasar modern semisal Giant, Carrefour, Alfamart, Indomaret, dll. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi dari berbagai perubahan di masyarakat yang semakin meningkatnya tingkat pengetahuan, pendapatan, dan jumlah keluarga yang berpendapat ganda (suami-istri bekerja) dengan waktu berbelanja yang terbatas. Sehingga, wajar apabila masyarakat sebagai konsumen menuntut peritel atau pasar untuk memberikan nilai lebih dari setiap lembar uang yang dibelanjakannya. Sehingga para pelaku usaha pasar harus mampu mengakomodasi tuntutan masyarakat tersebut jika mereka tidak ingin ditinggalkan oleh para pelanggan/konsumennya. (Ekapribadi. W, 2007)

Penjabaran diatas merupakan fakta-fakta yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, dimana memang keberadaan pasar modern dapat dilihat dari dua sisi sebagai suatu ancaman atau alternatif bagi para konsumen. Namun, sejatinya keberadaan pasar modern yang demikian mencerminkan praktek kapitalisme ekonomi, dimana usaha dengan modal yang besar akan dengan mudah memakan usaha dengan modal yang lebih kecil dan tentunya kondisi tersebut memang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan PD Pasar Jaya, dari total 151 pasar di Jakarta, hanya terdapat 27 pasar yang aspek fisik bangunannya masih baik. Sisanya, 111 pasar dalam kondisi fisik bangunan rusak sedang atau berat dan hanya 13 pasar yang dikategorikan mengalami rusak ringan. Kepala APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) cabang Jakarta, Hasan Basri, mengatakan bahwa 151 pasar tradisional di Jakarta terancam oleh keberadaan pasar modern semisal Supermarket, Hypermarket ataupun Mini Market, bahkan 9 pasar diantaranya sudah tutup. Faktor lain yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional, yakni strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen. (Wiboonpongse dan Sriboonchitta, 2006)

Pasar modern yang pada umumnya hanya dikuasai oleh segolongan pihak tertentu telah menggeser alokasi kekayaan dan distribusi barang dan jasa yang selama ini dikuasai oleh pasar tradisional. Padahal, melalui keberadaan pasar-pasar tradisional lah yang justru dapat menghidupi hajat hidup orang dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Sehingga, apabila fenomena ini terus diacuhkan dan didiamkan begitu saja, tentu pengaruh langsung maupun efek turunannya akan terasa sangat signifikan dan berpengaruh bagi seluruh lapisan masyarakat pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari globalisasi dan liberalisasi ekonomi, kedatangan pasar-pasar modern tersebut memang mustahil untuk dielakkan dan cepat atau lambat mereka akan melakukan investasi untuk merebut pangsa pasar di Indonesia, dengan menawarkan kenyamanan, keamanan, pengalaman baru dalam berbelanja, dan segala kelebihan lainnya, yang tentunya akan membuat para pedagang-pedagang kecil harus menurunkan margin demi bertahan dalam persaingan usaha yang sangat tidak sehat.

Oleh karenanya, menyikapi pokok permasalahan tersebut diatas memang diperlukan aturan khusus yang mengatur mengenai perkembangan dan penataan serta pembinaan terhadap pasar tradisional, pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko modern lainnya, yang dalam hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Desember 2007. Hal mana merupakan suatu langkah antisipatif dari pemerintah untuk menghindari benturan-benturan, namun pada prakteknya selalu saja terjadi benturan-benturan tersebut. Hal ini dikarenakan dalam tataran praktisnya regulasi tersebut tidak berjalan atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya, baik oleh pemegang regulasi (pemerintah), pelaku usaha, maupun para konsumen. Secara substansi Perpers No.112 Tahun 2007 telah mencoba mengakomodir segala problematika dalam persaingan usaha antara pasar modern dengan pasar tradisional, karena pada dasarnya Perpers tersebut lahir dilatarbelakangi oleh makin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah dan usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu untuk diberdayakan sehingga diharapkan dengan keberadaan Perpers ini pertumbuhan tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan serasi, saling memerlukan dan saling memperkuat serta saling menguntungkan satu sama lainnya.

Perpers tersebut mengatur lebih jauh mengenai hal-hal penting terkait keberadaan pasar modern dan pasar tradisional, antara lain mengenai penataan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Dalam Pasal 2 diuraikan mengenai penataan pasar tradisional yang wajib mengacu kepada Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Pendiriannya juga wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern serta usaha kecil, termasuk koperasi yang ada diwilayah bersangkutan. Menyediakan areal parker paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 m² (seratus meter persegi) luas lantai penjualan pasar tradisional (pengelolaan ini dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara pengelola pasar tradisional dengan pihak lain) dan menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib, dan ruang publik yang aman. Sedangkan, untuk penataan pusat perbelanjaan dan toko modern, diuraikan dalam Pasal 3 yaitu mengatur tentang lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern yang wajib mangacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. Pusat perbelanjaan dan toko modern juga dibatasi luas lantai penjualannya seperti Minimarket (kurang dari 400 m²), Supermarket (400 m² sampai dengan 5.000 m²), Hypermarket (diatas 5.000 m²), Departemen Store (diatas 400 m²) dan Perkulakan (diatas 5.000 m²). Diatur pula dalam Pasal 7 terkait mengenai jam kerja atau waktu operasional, dimana Hypermarket, Departement Store dan Supermarket beroperasi mulai pukul 10.00 sampai pukul 22.00 waktu setempat untuk hari Senin sampai Jumat, pukul 10.00 sampai 23.00 waktu setempat untuk hari Sabtu dan Minggu. Untuk hari besar keagamaan, libur nasional atau hari tertentu lainnya, Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan jam kerja melampaui pukul 22.00 waktu setempat. Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, dapat menggunakan merk sendiri dengan mengutamakan barang produksi usaha kecil dan usaha menengah dan mengutamakan jenis barang yang diproduksi di Indonesia. Penggunaan merk toko modern sendiri harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), bidang keamanan dan kesehatan produk, serta perundang-undangan lainnya sebagaimana yang diutarakan dalam Pasal 10.

Perpres 112/2007 juga mensyaratkan adanya kerjasama antara pasar modern dengan pasar tradisional. Pusat-pusat perbelanjaan wajib menyediakan tempat usaha untuk usaha kecil dengan harga jual atau biaya sewa yang sesuai dengan kemampuan usaha kecil, atau yang dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil melalui kerjasama lain dalam rangka kemitraan. Kemitraan ini merupakan kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan ini diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan memberikan peluang seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha. Dalam rangka pengembangan kemitraan antara pemasok usaha kecil dengan Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, perjanjian kerjasamanya harus dilakukan dengan tidak memungut biaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, dan pembayaran kepada pemasok usaha kecil dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima. Pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan bunga untuk pemasok usaha kecil. Dalam Pasal 9 dan 11 Perpers No.112/2007 mengamanatkan untuk menciptakan hubungan kerjasama yang berkeadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan antara pemasok dengan toko modern, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi kepentingan pemasok dan toko modern dalam merundingkan perjanjian kerjasama dan dalam rangka pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern, pemerintah daerah harus memberdayakan pusat-pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar tradisional dan mengawasi pelaksanaan kemitraan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 15 ayat 3 Perpres No.112/2007.

Perpers No.122/2007 juga mencoba menyoroti persoalan penataan persaingan usaha diantara pasar modern dan pasar tradisional, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesusai dengan bidang tugas masing-masing wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Untuk pembinaan, diatur dalam pasal 15 ayat 1-2 Perpres No. 112/2007 pemerintah daerah mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan untuk pemberdayaan pasar tradisional sesuai ketentuan perundang-undangan, meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola pasar tradisional, memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang pasar tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi pasar tradisional, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional. Untuk melakukan penataan, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 12-14 Perpres No. 112/2007 maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai perizinan untuk pengelolaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern dimana ada Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional (IUP2T) untuk pasar tradisional; Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat Perdagangan; Izin Usaha Toko Modern (IUTM) untuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket dan Perkulakan. IUTM untuk Minimarket diutamakan bagi pelaku Usaha Kecil dan Usaha Menengah setempat. Izin-izin tersebut diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal yang penting dalam pembuatan izin ini harus dilengkapi dengan studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan, terutama aspek sosial budaya dan dampak bagi pelaku pedagang eceran setempat serta menyertakan rencana kemitraan dengan usaha kecil. Pedoman membuat tata cara perizinan ini dibuat oleh Menteri. Dengan adanya aturan yang mengikat tersebut, apabila ada pelanggaran seperti yang termaktub dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 16 dapat dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa peringatan tertulis, pembekuan dan pencabutan izin usaha, hal ini diatur dalam Pasal 17 Perpres No. 112/2007.

Pada dasarnya Perpers No.112/2007 telah mencoba mengakomodir serta mengantisipasi adanya benturan-benturan kepentingan antara pasar modern dengan pasar tradisional. Namun, memang rasanya pelaksanaan pada prakteknya tidak berjalan efektif. Karena, memang sejatinya Perpers ini harus dijalankan oleh seluruh pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha pasar serta para konsumen. Oleh karenanya seluruh pihak harus memperhatikan hal ini, terutama bagi keberadaan pasar tradisional yang kian lama makin terpinggirkan oleh kuatnya arus globalisasi, liberalisasi serta kapitalisasi pasar-pasar modern dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai permasalahan-permasalahan yang ada terkait pengelolaan pasar tradisional antara lain :

1. Permasalahan dan citra negatif pasar tradisional yang terkesan kumuh yang umumnya terjadi akibat kurangnya pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar ;

2. Pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya "preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009) ;

3. Permasalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional.

Dengan adanya upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menigkatkan kembali gairah pelaku usaha pasar tradisional dan para konsumennya, karena apabila kita melihat dari aspek sosial-budaya masyarakat bangsa Indonesia yang gemar melakukan transaksi jual beli melalui proses tawar menawar telah membuat pasar tradisional terus bertahan dan memiliki potensi serta pangsa pasar untuk dapat terus beroperasi sekalipun muncul pasar-pasar modern lainnya. Hal tersebut merupakan keunggulan kompetitif dari pasar tradisional, sebab hal ini hampir tidak mungkin diterapkan oleh pasar-pasar modern pada umumnya. Keunggulan lain adalah kedekatan antara penjual dan pembeli yang biasanya ada di ritel tradisional dan jarang ditemukan pada pasar-pasar modern sekalipun mereka seringkali mengatasi dengan database pelanggan namun tidak terasa alami sebagaimana hubungan yang dibangun antara penjual-pembeli di pasar tradisional. Selain itu, persepsi pelanggan mengenai harga pasar tradisional yang lebih murah juga menjadi faktor lain, belum lagi di pasar tradisional pelanggan bisa membeli sesuai jumlah (minimum) yang diperlukan sementara di pasar-pasar modern sudah dikemas dengan ukuran-ukuran standar. Intinya ritel modern dan tradisional memiliki segmen pelanggan yang berbeda sehingga keberadaan pasar tradisional masih memiliki potensi dan harapan untuk bertahan serta terus berkembang.

Sekalipun pasar tradisional memiliki potensi dan pangsa pasar yang berbeda dengan pasar-pasar modern pada umumnya, namun tetap terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh peritel tradisional agar tetap mendapatkan tempat di hati konsumen, antara lain :

1. Peningkatan kualitas layanan pada pelanggan. Seringkali pelaku usaha pasar tradisional kurang ramah dalam melayani pelanggan atau sambil mengobrol dengan pedagang lain ;

2. Menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan. Suasana nyaman ini bisa diciptakan antara lain dengan menciptakan tempat berdagang yang bersih dan sehat ;

3. Tidak mengambil keuntungan sesaat, ada kalanya para pedagang tradisional bersepakat dengan sesama padagang mengambil keuntungan dalam jumlah besar untuk barang-barang tertentu pada waktu tertentu. Keuntungan sesaat semacam ini merugikan pelanggan dan merusak hubungan jangka panjang dengan pelanggan ;

4. Pilihan produk yang lebih baik, perhatikan kondisi produk apakah masih layak konsumsi atau tidak.

kita menyadari bahwa persaingan usaha senantiasa akan terus meningkat dari waktu ke waktu, dengan demikian para pelaku usaha pasar tradisional hendaknya senantiasa melakukan hal-hal yang kreatif dan inovatif untuk menghadapi persaingan tersebut.

Dari sudut pandang sistem ekonomi secara keseluruhan, perlu kita merubah dan mengganti sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku selama ini dengan sistem ekonomi-berbagi (sharing-economy), dimana pemerintah harus memberikan akses dan asset terhadap rakyat Indonesia dengan membuka pintu yang selebar-lebarnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), yaitu :

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara ;

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ;

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional ;

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

dengan demikian, melalui sistem ekonomi berbagi (sharing-economy) diharapkan berjalannya roda perekonomian bangsa yang memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alam negara ini dapat diperuntukkan bagi seluruh kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak.