Kamis, 24 Maret 2011

Indonesia Negara Sekuler? Siapa Tuhannya?..

Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, hal ini adalah fakta yang tak terbantahkan sejak zaman penjajahan dulu hingga saat ini. Istilah muslim digunakan untuk mereka, orang-orang yang menganut kepercayaan (agama) Islam, yaitu suatu agama yang bertuhankan Allah SWT dengan Nabinya yaitu Nabi Muhammad SAW. Apabila kita mendalami norma-norma kehidupan yang terdapat dalam agama Islam yaitu dalam Al-qur’an kitab agama Islam itu sendiri, maka dapat kita ketahui dan kita sadari bahwasanya setiap bentuk kehidupan dan cara-cara menjalani kehidupan tersebut telah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT dalam ayat-ayat sucinya tersebut, mulai dari kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya, kehidupan manusia dengan sesama makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, hingga kehidupan antar sesama manusia itu sendiri baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang disebut dengan yang namanya Hukum Islam atau Hukum Allah SWT.

Namun, satu hal lagi kenyataan atau fakta yang terjadi di Indonesia semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yaitu bahwa dari dulu hingga saat ini bangsa Indonesia yang mayoritas muslim tersebut belum pernah beranjak sedikitpun dari istilah negara berkembang, sehingga sering kali Indonesia diperlakukan layaknya “anak bawang” oleh negara-negara besar lainnya, dan oleh karena itu sangatlah wajar negara Indonesia yang sampai saat ini masih terlilit hutang miliaran dollar kepada negara-negara besar tersebut menjadi negara yang tidak maju atau negara berkembang yang tidak berkembang, bahkan dalam bidang-bidang tertentu negara kita ini mengalami degradasi atau penurunan seperti halnya dalam bidang pendidikan yang kiranya pada tahun 1960-an negara kita merupakan negara pemasok tenaga ajar (guru) kepada negara-negara tetangga khususnya Malaysia, atau lebih tepatnya banyak pelajar-pelajar dari negara lain yang datang ke Indonesia untuk menuntut ilmu di Indonesia, akan tetapi dengan sangat bersedih harus kita akui bidang pendidikan kita sudah sangat jauh tertinggal, dan bahkan sekarang seringkali kita yang membutuhkan tenaga ajar dari Malaysia atau mengirimkan pelajar-pelajar kita kesana. Dan yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hal seperti ini bisa terjadi kepada bangsa Indonesia?.

Banyak asumsi-asumsi yang dapat menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi, seperti halnya apa yang akan saya utarakan disini. Pertama, seperti apa yang pernah disampaikan presiden Soekarno dalam salah satu pidatonya yaitu “bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat mengenang jasa-jasa para pahlawannya”. Masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis sampai saat ini kenyataannya masih belum bisa menghormati jasa para pahlawannya. Meskipun dalam satu tahun sekali kita memperingati Hari Pahlawan, yaitu tepatnya pada tanggal 10 November. Akan tetapi hal tersebut hanyalah suatu formalitas belaka, karena seharusnya essensi yang sebenarnya dari mengenang dan menghormati jasa para pahlawan adalah berupa pemahaman atas dasar nilai-nilai sejarah, dengan kata lain bangsa yang besar merupakan bangsa yang mampu mengambil pelajaran dari sejarah, tentunya sejarah secara umum tidak hanya pada sejarah bangsanya saja. seperti apa yang tertera dalam Al-qur’an surat Al-fatehah ayat 6 dan 7 yang artinya adalah “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang terdahulu yang telah engkau beri nikmat kepadanya, dan bukan jalan mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat”. Apabila kita memahami secara mendasar dari pengertian ayat diatas maka sesungguhnya bangsa Indonesia haruslah mampu mempelajari sejarah (orang-orang terdahulu), dalam hal ini sejarah yang telah membentuk bangsa Indonesia itu sendiri, dan yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang membentuk bangsa Indonesia, apabila kita mempelajari sejarah ini? Pertanyaan ini akan dijawab diakhir kelak.

Kedua, dengan mengutip perkataan presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy yang disampaikan dalam orasi pidato kenegaraannya yaitu “jangan kau tanya apa yang negara berikan untukmu, tapi tanyalah apa yang kau berikan untuk negara”, kalau kita merenungi pernyataan ini dan melihat kenyataan yang terjadi pada saat ini, sesungguhnya sangatlah bertolak belakang dimana fenomena yang terjadi di negara Indonesia saat ini, justru para pemimpin-pemimpin bangsa lebih banyak meminta daripada memberi, hal ini dapat kita lihat dari fenomena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada saat mereka meminta kenaikan gaji berbarengan dengan kondisi bangsa dan rakyat Indonesia yang pada saat itu sedang terpuruk karena bencana alam, naiknya harga bahan pokok dan pangan (minyak goreng) dan lain-lainya, selain itu justru petinggi-petinggi negeri inilah yang hendak menghancurkan negeri ini sendiri dengan perbuatan-perbuatannya yang hina mulai dari korupsi yang semakin merajalela sampai kasus pornoaksi yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat negara. Kalau saja setiap pihak baik masyarakat maupun pemerintah mau berkontribusi dan berkorban secara ikhlas tentunya Tuhanpun akan memberkati dan menolong negara kita ini, karena pada dasarnya konsep bernegara merupakan sesuatu yang padu dengan agama dimana Allah SWT telah mengatur kehidupan bernegara yang baik dan benar yang akan membawa kita kepada keselamatan baik di dunia dan di akherat.

Asumsi yang ketiga adalah asumsi yang berkaitan dengan asumsi yang pertama dan kedua, dimana seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya konsep bernegara tidaklah bisa kita pisahkan dari kehidupan beragama kita dan dari aspek sejarah yang kita miliki, seperti apa yang tertuang dalam Pancasila sila pertama yaitu bahwa Bangsa Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan YME, hanya saja timbul pertanyaan siapa Tuhan bangsa Indonesia sesungguhnya?, dijawab dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945, yaitu “..dengan rahmat Allah SWT, menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan..”, dari kalimat ini dan apabila kita mengingat peristiwa piagam Jakarta maka dapat kita lihat bahwa pada dasarnya, para perumus negara (foundings father) ini yaitu orang-orang terdahulu kita sejatinya telah menyadari dengan sangat bahwa kemerdekaan tidak akan dapat diraih tanpa ridho dan rahmat Allah SWT, dan tentunya jasa para pahlawan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita sadari bahwa Tuhan bangsa Indonesia adalah Allah SWT.

Selain itu juga bila kita mau membuka mata dan pikiran kita, maka dapat kita sadari bahwa kehidupan bernegara merupakan salah satu aspek kehidupan yang telah diatur oleh Allah SWT melalui hukum-hukumnya yakni hukum Islam. Dan bila kita melihat dan mempelajari sejarah, maka dapat kita jawab pertanyaan sebelumnya yaitu apa yang membentuk negara Indonesia?, dari sejarah dapat kita temukan bahwa yang membentuk negara Indonesia adalah Islam. Bagaimana tidak kesemua perjuangan kemerdekan di selueruh pelosok negeri ini dipimpin oleh pejuang-pejuang Islam, mulai dari Sudirman, Imam Bonjol, Diponogoro, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan lain-lainnya, kesemuanya adalah para pahlawan bangsa kita, yang memperjuangkan kemerdekaan dengan darah dan teriakan “Allahuakbar” disetiap pertempurannya. Hal inipun menguatkan asumsi sebelumnya bahwa Tuhan yang paling layak disembah oleh bangsa Indonesia adalah Allah SWT, dan oleh karena Allah SWT mempunyai ketentuan yang mengatur kehidupan bernegara yaitu hukum Islam atau hukum Allah SWT, maka sebagai wujud rasa terima kasih kita dan rasa syukur kita sudah seharusnya hukum Islam itu kita terapkan di negara ini. Karena Allah SWT juga menegaskan dalam surat Muhhammad ayat 7, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Namun kenyataannya, jangankan pemerintah ingin menerapkan hukum Allah SWT sebagai landasan bernegara, menerapkan Pancasila sila pertamanya saja pemerintah ini tidak mau, apalagi mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Jadi dengan kata lain sampai saat ini dari dulu, bangsa Indonesia termasuk negara sekuler yang memisahkan kehidupan dunia dengan kehidupan akherat (agama). Kita ambil contoh yang paling menonjol lagi-lagi dari aspek pendidikan, dimana untuk pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai tingkat Universitas diatur oleh Departemen Pendidikan. Sedangkan untuk sekolah seperti Madrasah, Ibtidaiyah, dan IAIN diatur oleh Departemen Keagamaan, dari sini dapat kita lihat bahwa pemerintah berusaha memisahkan urusan dunia (dalam hal ini pendidikan) dengan urusan akherat. Kalau sudah begini kita tinggal menunggu saja azab Allah SWT, yang tidak lain adalah bencana-bencana alam yang akhir-akhir ini memang kerap kali terjadi. Na’udzubillah min’dzalik..

Jumat, 18 Maret 2011

Advokat Agung Republik Indonesia, Suatu Gagasan Revolusioner

Pencetusan Gagasan atau Ide membentuk suatu Lembaga Negara yang menaungi para Advokat, dalam hal ini adalah Advokat Agung Republik Indonesia (AARI) pertama kali dilontarkan oleh Advokat atau praktisi hukum kenamaan DR. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., Sepintas gagasan ini memang terdengar cukup menggelitik, mengingat secara ketatanegaraan lembaga semacam ini tidak pernah dikenal sebelumnya, terlebih belum ada acuan serupa di negara-negara demokrasi lainnya. Namun, menurut saya gagasan ini merupakan sesuatu yang wajar dan harus diberikan ruang untuk dibicarakan bersama, mengingat minimnya bantuan dan perlindungan hukum kepada masyarakat kecil, ditambah dengan sering kali terjadinya konflik antar wadah Advokat yang hingga kini tidak kunjung terselesaikan, bahkan dikhawatirkan terjadinya konflik antar Advokat. Selain itu, menurut saya gagasan tersebut sangatlah revolusioner dalam hal menuntaskan beberapa permasalahan hukum untuk menunjang profesionalisme profesi Advokat dan memaksimalkan peranannya dalam penegakan hukum secara adil dan merata, terutama dalam hal mengaplikasikan kewajiban dan tanggung jawab profesi Advokat dalam hal memberikan bantuan hukum, yang mana dengan terbentuknya AARI diharapkan mampu memenuhi amanat UUD RI 1945, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, selain itu pula AARI bertujuan untuk melengkapi unsur yudikatif dalam sistem pemerintahan Indonesia ke depan, yang mana Lembaga Negara tersebut merupakan Lembaga Negara yang setara kedudukannya dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, serta Kepolisian Republik Indonesia. Keberadaan AARI pun diharapkan mampu pula menempatkan dunia Advokat pada posisi yang proporsional, profesional dan lebih bermartabat. Selain itu diharapkan pula melalui AARI mampu memberikan advokasi kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Harapan lebih besar saya tempatkan kepada keberadaan AARI ini agar mampu menempatkan Advokat dalam posisi yudikatif terkait konteks pembagian kekuasaan negara, terlebih lagi idealnya saya berharap Lembaga Negara lainnya seperti Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung dapat pula dimasukan dalam kategori lingkup yudikatif, bukan dibawah eksekutif. Sehingga, dengan demikian konsep dasar Trias Politica seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa berjalan seimbang dan fungsional untuk kesejahteraan rakyat. Singkat kata, kehadirat Advokat Agung Republik Indonesia dapatlah memberikan keseimbangan antara kesehatan fisik dan kesejahteraan batin bagi masyarakat, yaitu berupa diperlakukannya seluruh masyarakat dengan seadil-adilnya, karena terjaga dan terurus segala kepentingan atau penderitaan di dalam memperjuangkan atau mendapatkan hak-hak hukum yang melekat secara hak asasi manusia pada diri masyarakat Indonesia seluruhnya.


Oleh karenanya, AARI ini haruslah bertujuan untuk menempatkan rasa keadilan sebagai sesuatu yang utama atau tertinggi dalam penegakan hukum serta melayani keadilan untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan warga dunia lainnya. Karena, apabila kita menganalogikan profesi Advokat dengan profesi Dokter, sejatinya tidak ada yang berbeda hanya saja profesi Dokter membantu masyarakat dibidang kesehatan sedangkan Advokat dibidang hukum. Namun, profesi Dokter kerap kali mendapatkan tempat tersendiri di mata pemerintah dengan menyediakan fasilitas penunjangnya hingga kedaerah pedesaan melalui keberadaan Puskesmas atau Posyandu, dimana kemudian Pemerintah mengakomodir dokter-dokter untuk mengisi puskesmas dalam melayani kesehatan rakyat. Sedangkan, tidak pernah kita mendengar pemerintah mengakomodir kehadiran para Advokat di pelosok kampung yang bertujuan untuk melayani kebutuhan rasa keadilan bagi masyarakat desa, padahal sejatinya kebutuhan rasa keadilan maupun kesehatan jasmani merupakan hal yang serupa dan penting serta dijamin berdasarkan UUD RI 1945 yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari negara, dalam hal ini Pemerintah. Selain itu pula, Selama ini masyarakat menganggap berurusan dengan Advokat harus mempunyai uang yang banyak, sehingga masyarakat pada umumnya terutama di pelosok desa yang hidupnya di bawah garis kemiskinan enggan berhubungan dengan Advokat ketika hak-hak hukum mereka direnggut oleh ketidakdilan, maka mereka lebih memilih pasrah untuk dizalimi, karena tak berdaya, hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab Negara untuk melindungi rakyatnya serta menjamin hak-hak hukumnya, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD RI 1945.

Sehingga, apabila Lembaga Negara AARI ini berdiri, maka institusi tersebut dapat memiliki peran untuk menempatkan para advokat di daerah-daerah terpencil, dimana dapat pula dibentuk Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di setiap pelosok desa layaknya Puskesmas/Posyandu. Selain itu, dengan adanya Lembaga Negara AARI ini juga akan menghilangkan kerancuan dalam menentukan lembaga yang menjadi Advokat Negara. Karena, apabila selama ini Kejaksaan Agung berperan ganda, selain sebagai Jaksa Penuntut tetapi juga disatu sisi berperan sebagai Advokat Negara, maka akan sangat bertolak belakang dan berbenturan apabila dilihat dari sisi kepentingan dan tanggung jawab profesinya, dimana di satu sisi kejaksaan adalah lembaga penuntutan, namun di sisi lain, juga menjadi Advokat Negara, yang tidak lain adalah pembela hak-hak hukum. Akan tetapi, dengan hadirnya Lembaga Negara AARI ini, diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan tersebut serta terutama bagi penyelesaian konflik dualisme wadah para Advokat yang hingga kini masih tidak terselesaikan. Oleh karena keberadaan AARI ini akan juga berperan sebagai Lembaga Negara yang menaungi wadah para Advokat, dimana setiap permasalahan para Advokat kelak tidak harus diselesaikan melalui Mahkamah Agung (MA), tetapi melalui AARI ini. Karena biar bagaimanapun seorang Advokat harus memiliki posisi atau kedudukan yang sama dengan Jaksa, Hakim, dan Kepolisian. Sehingga, apabila MA yang mengatur Advokat, berarti tidak ada kesetaraan diantaranya dan Advokat merupakan profesi yang berkedudukan di bawah MA.

Oleh karena begitu signifikannya peranan yang dapat diberikan AARI, maka gagasan ini harus dijadikan wacana yang serius untuk nantinya direalisasikan sesedera mungkin oleh pemerintah sebagai suatu solusi dari carut marutnya hukum di negara Indonesia ini. Namun, tentunya terealisasinya gagasan ini akan memiliki banyak implikasi dan konsekuensi yuridis dan sosiologis, antara lain munculnya Lembaga Negara baru dengan segala infrastrukturnya dan juga APBN yang perlu dianggarkan oleh pemerintah bersama-sama DPR RI demi memikirkan dan memperjuangkan tegaknya rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat atau perintah doktrin yang kita junjung tinggi yaitu sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dari Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia ini. Sehingga, apabila bangsa Indonesia dalam hal ini khususnya Pemerintah dan DPR RI konsisten menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara yang harus dijalankan secara murni dan konsekuen, maka lembaga AARI tersebut merupakan suatu keharusan yang harus dengan sesegera mungkin diwujudkan kehadirannya. Hal ini pun merupakan bagian dari konsistensi Pemerintah bahwa bangsa Indonesia telah memilih bernegara dengan menganut sistem Trias Politica dan berdemokrasi.