Rabu, 23 Februari 2011

ADVOKASI HUKUM JURNALIS : PERAN JURNALIS DALAM SUPERMASI HUKUM

PENGANTAR

Pasal 28F UUD RI 1945 :

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Berangkat dari ketentuan Konstitusi tersebutlah menjadi dasar dari pentingnya peran penulis dan para jurnalis untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat melalui penyampaian berita-berita yang faktual dan berkualitas, hal mulia ini tentunya yang menjadi salah satu landasan dari kehadiran beragam Organisasi Jurnalis, yakni suatu kewajaran bahkan keharusan berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28 yang menggariskan :

“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal tersebut pulalah yang mendorong disusunnya suatu Undang-Undang yang menjamin kebebasan untuk berpendapat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan sesuatu hal yang penting yang harus dilindungi. Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kegiatan jurnalisme tersebut diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Begitu pentingnya arti suatu kebebasan mengutarakan atau menyampaikan pendapat yang dalam hal ini diartikan sebagai kebebasan atau kemerdekaan pers tentunya membuat para penulis dan jurnalis memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun Negeri ini, tidak terkecuali dalam hal supremasi hukum atau penegakan nilai-nilai keadilan dan norma hukum di Indonesia, karena pada dasarnya kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Oleh karena itu, perlu kita sadari bersama bahwasanya kemerdekaan pers tersebut haruslah dijalankan dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers tersebut merupakan kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi oleh para penulis maupun jurnalis lainnya yang disertai dengan hati nurani insan pers dalam menjalankan profesinya tersebut.


POKOK PERMASALAHAN


Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi :

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 dan 12 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yaitu :

Butir 11

“Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya”.

Butir 12

“Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain”.

Dimana hal tersebut dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan/atau oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara, disinilah salah satu peran penting yang dapat dilakukan seluruh Organisasi Jurnalis yakni menjadi organisasi kontrol sosial (organization social control) yang memantau serta melindungi tidak hanya kepentingan para jurnalis maupun penulis tetapi juga kepentingan keadilan di masyarakat serta norma-norma hukum yang ada.

Sebagai suatu wadah organisasi bagi para penulis dan jurnalis tentunya harus menghormati kode etik jurnalistik yang ada, antara lain sebagaimana berikut :

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar ;

2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar ;

3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya ;

4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya ;

5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat ;

6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen ;

7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo ;

8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat ;

9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur ;

10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya ;

11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat ;

12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual ;

13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi ;

14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan. (Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik) ;

15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak ;

16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik ;

17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas ;

18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

Dengan ditegakkannya kode etik profesi jurnalistik ini diharapkan mampu menghasilkan para penulis dan jurnalis yang tentunya memiliki kualitas insan pers yang berkualitas.

Kerap kali terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik pada prakteknya baik yang dilakukan oleh sumber berita, pemerintah maupun para insan pers itu sendiri dan ketika seorang insan pers bermasalah dengan pemberitaannya, yaitu sumber/objek pemberitaan merasa keberatan dengan pemberitaan atau cara-cara yang dilakukan oleh jurnalis, sehingga insan pers baik personal maupun institusi selalu membawanya kedalam lingkup Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sementara sumber/objek pemberitaan selalu menuntut hal ini menjadi suatu delik pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk menambah suatu khazanah pengetahuan, perlu untuk dicermati bahwasanya terkait permasalahan seputar dampak pemberitaan tersebut dalam sudut pandang delik terbagi menjadi 2 kategori, yaitu :

• KLACHDELICT, yaitu suatu bentuk pemberitaan yang merugikan nama baik seseorang/individu karena merasa difitnah, dipojokkan dan dihina, dimana pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat menuntut surat kabar.

• PERSDELICT, yaitu suatu bentuk pemberitaan yang merugikan kepentingan umum atau negara (stabilitas) seperti melanggar ketertiban umum atau berita bohong.

Tentunya didalam KUHP terkait delik pers ini diatur dalam beragam bentuk delik seperti membocorkan rahasia Negara (Pasal 112 KUHP), membocorkan rahasia Hankam (Pasal 113 KUHP), Penghinaan terhadap presiden dan Wapres, Penghinaan terhadap raja atau wakil Negara sahabat, Penghinaan terhadap wakil Negara asing, Permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah, Pernyataan kebencian, permusuhan dan penghinaan golongan, Permusuhan, penodaan dan penyalahgunaan agama, Penghasutan, Penawaran tindak pidana, Penghinaan terhadap penguasa dan badan umum, Pelanggaran kesusilaan, Pencemaran nama baik seseorang, Pemberitaan palsu.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada umumnya insan pers tidaklah setuju persoalan pers ditarik ke delik pidana, karena insan pers menganggap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 merupakan Lex Specialis dari KUHP sebagai bentuk Lex Generalis, akan tetapi perlu untuk diketahui bahwa Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidaklah disusun berdasarkan delik hukum pidana, sehingga Undang-Undang tersebut tidak serumpun dengan Undang-Undang tentang KUHP. Selain itu, ditambahkan pula bahwa azas hukum yang berlaku umum adalah suatu perundang-undangan sederajat tidak dapat membatalkan ketentuan dalam perundangan lainnya, apalagi kedua perundangan tersebut tidak berada dalam rumpun yang sama.

Fakta diatas memperlihatkan masih mudahnya kemerdekaan mengutarakan pendapat dalam hal ini khususnya Pers untuk dikekang, meskipun Secara umum, sejak reformasi 1998, pers Indonesia relatif tidak mengalami pengekangan yang berarti, khususnya dari pemerintah. Namun bukan berarti kebebasan pers tidak mendapat ancaman. Musuh kebebasan pers Indonesia saat ini justru lebih banyak berasal dari kalangan bisnis maupun masyarakat sendiri. Kekerasan pada jurnalis, masih sering terjadi. Bahkan di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai bertiup angin dari negara untuk mengendalikan kembali pers lewat berbagai perundangan yang ada (contoh UUITE, RUU Pemilu, dll). Negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang-Undang (UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310, 311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan atau nama baik yang tercemar.
Akan tetapi andaikata seluruh insan pers, dalam hal ini IPJI pandai bercermin dan terus mengintrospeksi diri untuk kemajuan bersama dalam menjalankan profesinya dengan memegang kuat kemerdekaan pers sebagaimana yang dicita-citakan dalam UU Pers No.40 Tahun 1999, antara lain dalam :

Pasal 5 ayat (1)

“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.

Pasal 6

“Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan ;

c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar ;

d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum ;

e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran”.

Maka akan dengan mudah dihindari segala kemungkinan konflik yang sering terjadi, karena setiap insan pers selalu mempertimbangkan sisi lainnya, yaitu keadilan yang harus juga dimiliki oleh masyarakat dan sumber/objek berita.


PENUTUP

Sebagai suatu penutup, bahwasanya kemerdekaan pers bisa saja diartikan baik maupun buruk layaknya dua sisi mata uang. Oleh karena itu, dengan pembahasan diatas dan hadirnya beragam Organisasi Jurnalis ditengah-tengah masyarakat, kita berharap agar tidak ada lagi pengekangan terhadap kebebasan berpendapat atau kemerdekaan pers, akan tetapi bukan berarti kemerdekaan pers itu diartikan sebebas-bebasnya tanpa ada norma apaun yang mengayominya, karena apabila dilihat dari Pasal 28 UUD 1945 maka seharusnya insan pers dapat memahami dan mengerti dengan baik, bahwasanya kebebasan yang merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, harus pula dijalankan dengan memenuhi kewajiban untuk menghormati hak-hak warga Negara Indonesia yang lainnya secara berimbang, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar