Kamis, 05 Mei 2011

Kapitalisme Pasar Modern, Ancaman Eksistensi Perpers 112/2007

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa perkembangan pasar modern, setidaknya dalam kurung waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir telah mengalami perkembangan yang signifikan dan memperngaruhi kondisi perekonomian masyarakat Indonesia secara umum, karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup yang modern yang berkembang di masyarakat kita. Pada tahun 2005, menurut Bussines Intelligent Report, pasar modern seperti Hypermart, Walmart, Giant, Carrefour, dll akan menguasai pasar sebesar 38.5% dari total pasar ritel sebesar Rp. 87,5 T. Kita ambil contoh peritel terbesar dunia yang berasal dari Amerika Serikat, yaitu Walmart, pada tahun 2002 mengalami pengeluaran sebesar USD 240 M di seluruh dunia. Selain wall mart, terdapat beberapa peritel asing yang mengembangkan usahanya di Indonesia, antara lain Carrefour, Makro, Belhaize, Ahold, dan Giant. Carrefour yang berasal dari prancis mulai beroprasi ke asia pertama kali pada tahun 1989, yaitu ke Taiwan. Pada tahun 1996, ritel ini masuk ke indonesia. Dimana 10 buah di Jakarta dan 5 buah di luar Jakarta. Makro berasal dari belanda masuk ke indonesia pada tahun 1991, saat ini terdapat 12 outlet Makro di wilayah Jobedetabek dan 1 di bandung. Selain makro, dari belanda juga masuk Ahold, yang di Indonesia menggunakan nama Tops yang sudah memiliki 22 outlet (sejak akhir tahun 2005 diakuisisi Hero). Belhaize adalah hypermarket dari belgia, dimana saat ini sudah memiliki 33 outlet di kota-kota besar di jawa. Belhaize ini beraliansi dengan supermarket superindo. Yang terbaru masuk ke indonesia adalah Giant dan Hypermart yang berasal dari Malaysia. Di indonesia, Giant beraliansi Hero Super market. (Anonimous, 2007)

Hypermart, Giant, Walmart, Carrefour, Makro, dll merupakan bentuk pasar modern yang datang dari negara-negara asing. Selain itu, ada juga terdapat beberapa bentuk pasar modern yang mewakili para wiraswasta dalam negeri seperti halnya Alfamart, Indomaret, Ceriamart, dan jenis usaha sejenis lainnya yang seringkali kita temukan hampir disetiap persimpangan jalan kota. Perkembangan usaha pasar modern tersebut ternyata telah membawa kekhawatiran bagi para pelaku ataupun konsumen pasar tradisional, dimana dengan meningkatnya perkembangan usaha pasar modern tersebut justru telah membuat pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun setiap tahunnya, tercatat pada tahun 2004 jumlah kontribusi pasar tradisional sekitar 69.9%, jumlah tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang berjumlah sekitar 73,7%, penurunan tersebut terus terjadi dari tahun 2000 hingga sekarang. Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada pasar modern seperti supermarket dan hypermarket dimana kontribusi mereka kian hari kian besar. (Anonimous, 2007) Kondisi usaha dan kinerja pedagang pasar tradisional menunjukkan penurunan setelah beroperasinya beragam usaha pasar modern. Kendati persaingan antara pasar modern secara teoristis dapat menguntungkan konsumen, dan mungkin perekonomian secara keseluruhan, namun sedikit masyarakat yang menyadari mengenai dampaknya pada pasar tradisional. Hal ini penting, mengingat pasar modern seperti Hypermart, Giant, Carrefour, dll saat ini telah bersaing secara langsung dengan pasar tradisional, terlebih pasar modern saat ini tidak memiliki segmen pasar tertentu. (Harmanto, 2007)

Pada awalnya, sekitar tahun 1980-an memang kehadiran pasar modern (Supermarket, Mini Market, Hypermarket) tidaklah mengancam keberadaan pasar tradisional, justru kehadiran pasar modern menjadi salah satu alternatif pilihan dari pasar tradisional yang menyasar konsumen dari kalangan menengah ke atas, yang saat itu merasa tidak puas dengan kualitas pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas barang yang buruk, dan harga jual rendah, serta sistem tawar menawar dan pembayaran yang konvensional. Namun, sekarang ini kondisinya telah banyak berubah. Supermarket dan hypermarket telah menjamur hampir disetiap pelosok dan persimpangan jalan dapat kita temui pasar modern semisal Giant, Carrefour, Alfamart, Indomaret, dll. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi dari berbagai perubahan di masyarakat yang semakin meningkatnya tingkat pengetahuan, pendapatan, dan jumlah keluarga yang berpendapat ganda (suami-istri bekerja) dengan waktu berbelanja yang terbatas. Sehingga, wajar apabila masyarakat sebagai konsumen menuntut peritel atau pasar untuk memberikan nilai lebih dari setiap lembar uang yang dibelanjakannya. Sehingga para pelaku usaha pasar harus mampu mengakomodasi tuntutan masyarakat tersebut jika mereka tidak ingin ditinggalkan oleh para pelanggan/konsumennya. (Ekapribadi. W, 2007)

Penjabaran diatas merupakan fakta-fakta yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, dimana memang keberadaan pasar modern dapat dilihat dari dua sisi sebagai suatu ancaman atau alternatif bagi para konsumen. Namun, sejatinya keberadaan pasar modern yang demikian mencerminkan praktek kapitalisme ekonomi, dimana usaha dengan modal yang besar akan dengan mudah memakan usaha dengan modal yang lebih kecil dan tentunya kondisi tersebut memang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan PD Pasar Jaya, dari total 151 pasar di Jakarta, hanya terdapat 27 pasar yang aspek fisik bangunannya masih baik. Sisanya, 111 pasar dalam kondisi fisik bangunan rusak sedang atau berat dan hanya 13 pasar yang dikategorikan mengalami rusak ringan. Kepala APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) cabang Jakarta, Hasan Basri, mengatakan bahwa 151 pasar tradisional di Jakarta terancam oleh keberadaan pasar modern semisal Supermarket, Hypermarket ataupun Mini Market, bahkan 9 pasar diantaranya sudah tutup. Faktor lain yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional, yakni strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen. (Wiboonpongse dan Sriboonchitta, 2006)

Pasar modern yang pada umumnya hanya dikuasai oleh segolongan pihak tertentu telah menggeser alokasi kekayaan dan distribusi barang dan jasa yang selama ini dikuasai oleh pasar tradisional. Padahal, melalui keberadaan pasar-pasar tradisional lah yang justru dapat menghidupi hajat hidup orang dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Sehingga, apabila fenomena ini terus diacuhkan dan didiamkan begitu saja, tentu pengaruh langsung maupun efek turunannya akan terasa sangat signifikan dan berpengaruh bagi seluruh lapisan masyarakat pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari globalisasi dan liberalisasi ekonomi, kedatangan pasar-pasar modern tersebut memang mustahil untuk dielakkan dan cepat atau lambat mereka akan melakukan investasi untuk merebut pangsa pasar di Indonesia, dengan menawarkan kenyamanan, keamanan, pengalaman baru dalam berbelanja, dan segala kelebihan lainnya, yang tentunya akan membuat para pedagang-pedagang kecil harus menurunkan margin demi bertahan dalam persaingan usaha yang sangat tidak sehat.

Oleh karenanya, menyikapi pokok permasalahan tersebut diatas memang diperlukan aturan khusus yang mengatur mengenai perkembangan dan penataan serta pembinaan terhadap pasar tradisional, pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko modern lainnya, yang dalam hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Desember 2007. Hal mana merupakan suatu langkah antisipatif dari pemerintah untuk menghindari benturan-benturan, namun pada prakteknya selalu saja terjadi benturan-benturan tersebut. Hal ini dikarenakan dalam tataran praktisnya regulasi tersebut tidak berjalan atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya, baik oleh pemegang regulasi (pemerintah), pelaku usaha, maupun para konsumen. Secara substansi Perpers No.112 Tahun 2007 telah mencoba mengakomodir segala problematika dalam persaingan usaha antara pasar modern dengan pasar tradisional, karena pada dasarnya Perpers tersebut lahir dilatarbelakangi oleh makin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah dan usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu untuk diberdayakan sehingga diharapkan dengan keberadaan Perpers ini pertumbuhan tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan serasi, saling memerlukan dan saling memperkuat serta saling menguntungkan satu sama lainnya.

Perpers tersebut mengatur lebih jauh mengenai hal-hal penting terkait keberadaan pasar modern dan pasar tradisional, antara lain mengenai penataan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Dalam Pasal 2 diuraikan mengenai penataan pasar tradisional yang wajib mengacu kepada Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Pendiriannya juga wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern serta usaha kecil, termasuk koperasi yang ada diwilayah bersangkutan. Menyediakan areal parker paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 m² (seratus meter persegi) luas lantai penjualan pasar tradisional (pengelolaan ini dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara pengelola pasar tradisional dengan pihak lain) dan menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib, dan ruang publik yang aman. Sedangkan, untuk penataan pusat perbelanjaan dan toko modern, diuraikan dalam Pasal 3 yaitu mengatur tentang lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern yang wajib mangacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. Pusat perbelanjaan dan toko modern juga dibatasi luas lantai penjualannya seperti Minimarket (kurang dari 400 m²), Supermarket (400 m² sampai dengan 5.000 m²), Hypermarket (diatas 5.000 m²), Departemen Store (diatas 400 m²) dan Perkulakan (diatas 5.000 m²). Diatur pula dalam Pasal 7 terkait mengenai jam kerja atau waktu operasional, dimana Hypermarket, Departement Store dan Supermarket beroperasi mulai pukul 10.00 sampai pukul 22.00 waktu setempat untuk hari Senin sampai Jumat, pukul 10.00 sampai 23.00 waktu setempat untuk hari Sabtu dan Minggu. Untuk hari besar keagamaan, libur nasional atau hari tertentu lainnya, Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan jam kerja melampaui pukul 22.00 waktu setempat. Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, dapat menggunakan merk sendiri dengan mengutamakan barang produksi usaha kecil dan usaha menengah dan mengutamakan jenis barang yang diproduksi di Indonesia. Penggunaan merk toko modern sendiri harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), bidang keamanan dan kesehatan produk, serta perundang-undangan lainnya sebagaimana yang diutarakan dalam Pasal 10.

Perpres 112/2007 juga mensyaratkan adanya kerjasama antara pasar modern dengan pasar tradisional. Pusat-pusat perbelanjaan wajib menyediakan tempat usaha untuk usaha kecil dengan harga jual atau biaya sewa yang sesuai dengan kemampuan usaha kecil, atau yang dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil melalui kerjasama lain dalam rangka kemitraan. Kemitraan ini merupakan kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan ini diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan memberikan peluang seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha. Dalam rangka pengembangan kemitraan antara pemasok usaha kecil dengan Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, perjanjian kerjasamanya harus dilakukan dengan tidak memungut biaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, dan pembayaran kepada pemasok usaha kecil dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima. Pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan bunga untuk pemasok usaha kecil. Dalam Pasal 9 dan 11 Perpers No.112/2007 mengamanatkan untuk menciptakan hubungan kerjasama yang berkeadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan antara pemasok dengan toko modern, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi kepentingan pemasok dan toko modern dalam merundingkan perjanjian kerjasama dan dalam rangka pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern, pemerintah daerah harus memberdayakan pusat-pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar tradisional dan mengawasi pelaksanaan kemitraan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 15 ayat 3 Perpres No.112/2007.

Perpers No.122/2007 juga mencoba menyoroti persoalan penataan persaingan usaha diantara pasar modern dan pasar tradisional, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesusai dengan bidang tugas masing-masing wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Untuk pembinaan, diatur dalam pasal 15 ayat 1-2 Perpres No. 112/2007 pemerintah daerah mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan untuk pemberdayaan pasar tradisional sesuai ketentuan perundang-undangan, meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola pasar tradisional, memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang pasar tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi pasar tradisional, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional. Untuk melakukan penataan, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 12-14 Perpres No. 112/2007 maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai perizinan untuk pengelolaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern dimana ada Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional (IUP2T) untuk pasar tradisional; Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat Perdagangan; Izin Usaha Toko Modern (IUTM) untuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket dan Perkulakan. IUTM untuk Minimarket diutamakan bagi pelaku Usaha Kecil dan Usaha Menengah setempat. Izin-izin tersebut diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal yang penting dalam pembuatan izin ini harus dilengkapi dengan studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan, terutama aspek sosial budaya dan dampak bagi pelaku pedagang eceran setempat serta menyertakan rencana kemitraan dengan usaha kecil. Pedoman membuat tata cara perizinan ini dibuat oleh Menteri. Dengan adanya aturan yang mengikat tersebut, apabila ada pelanggaran seperti yang termaktub dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 16 dapat dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa peringatan tertulis, pembekuan dan pencabutan izin usaha, hal ini diatur dalam Pasal 17 Perpres No. 112/2007.

Pada dasarnya Perpers No.112/2007 telah mencoba mengakomodir serta mengantisipasi adanya benturan-benturan kepentingan antara pasar modern dengan pasar tradisional. Namun, memang rasanya pelaksanaan pada prakteknya tidak berjalan efektif. Karena, memang sejatinya Perpers ini harus dijalankan oleh seluruh pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha pasar serta para konsumen. Oleh karenanya seluruh pihak harus memperhatikan hal ini, terutama bagi keberadaan pasar tradisional yang kian lama makin terpinggirkan oleh kuatnya arus globalisasi, liberalisasi serta kapitalisasi pasar-pasar modern dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai permasalahan-permasalahan yang ada terkait pengelolaan pasar tradisional antara lain :

1. Permasalahan dan citra negatif pasar tradisional yang terkesan kumuh yang umumnya terjadi akibat kurangnya pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar ;

2. Pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya "preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009) ;

3. Permasalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional.

Dengan adanya upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menigkatkan kembali gairah pelaku usaha pasar tradisional dan para konsumennya, karena apabila kita melihat dari aspek sosial-budaya masyarakat bangsa Indonesia yang gemar melakukan transaksi jual beli melalui proses tawar menawar telah membuat pasar tradisional terus bertahan dan memiliki potensi serta pangsa pasar untuk dapat terus beroperasi sekalipun muncul pasar-pasar modern lainnya. Hal tersebut merupakan keunggulan kompetitif dari pasar tradisional, sebab hal ini hampir tidak mungkin diterapkan oleh pasar-pasar modern pada umumnya. Keunggulan lain adalah kedekatan antara penjual dan pembeli yang biasanya ada di ritel tradisional dan jarang ditemukan pada pasar-pasar modern sekalipun mereka seringkali mengatasi dengan database pelanggan namun tidak terasa alami sebagaimana hubungan yang dibangun antara penjual-pembeli di pasar tradisional. Selain itu, persepsi pelanggan mengenai harga pasar tradisional yang lebih murah juga menjadi faktor lain, belum lagi di pasar tradisional pelanggan bisa membeli sesuai jumlah (minimum) yang diperlukan sementara di pasar-pasar modern sudah dikemas dengan ukuran-ukuran standar. Intinya ritel modern dan tradisional memiliki segmen pelanggan yang berbeda sehingga keberadaan pasar tradisional masih memiliki potensi dan harapan untuk bertahan serta terus berkembang.

Sekalipun pasar tradisional memiliki potensi dan pangsa pasar yang berbeda dengan pasar-pasar modern pada umumnya, namun tetap terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh peritel tradisional agar tetap mendapatkan tempat di hati konsumen, antara lain :

1. Peningkatan kualitas layanan pada pelanggan. Seringkali pelaku usaha pasar tradisional kurang ramah dalam melayani pelanggan atau sambil mengobrol dengan pedagang lain ;

2. Menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan. Suasana nyaman ini bisa diciptakan antara lain dengan menciptakan tempat berdagang yang bersih dan sehat ;

3. Tidak mengambil keuntungan sesaat, ada kalanya para pedagang tradisional bersepakat dengan sesama padagang mengambil keuntungan dalam jumlah besar untuk barang-barang tertentu pada waktu tertentu. Keuntungan sesaat semacam ini merugikan pelanggan dan merusak hubungan jangka panjang dengan pelanggan ;

4. Pilihan produk yang lebih baik, perhatikan kondisi produk apakah masih layak konsumsi atau tidak.

kita menyadari bahwa persaingan usaha senantiasa akan terus meningkat dari waktu ke waktu, dengan demikian para pelaku usaha pasar tradisional hendaknya senantiasa melakukan hal-hal yang kreatif dan inovatif untuk menghadapi persaingan tersebut.

Dari sudut pandang sistem ekonomi secara keseluruhan, perlu kita merubah dan mengganti sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku selama ini dengan sistem ekonomi-berbagi (sharing-economy), dimana pemerintah harus memberikan akses dan asset terhadap rakyat Indonesia dengan membuka pintu yang selebar-lebarnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), yaitu :

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara ;

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ;

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional ;

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

dengan demikian, melalui sistem ekonomi berbagi (sharing-economy) diharapkan berjalannya roda perekonomian bangsa yang memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alam negara ini dapat diperuntukkan bagi seluruh kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak.

Rabu, 06 April 2011

Menyoal Problematika Ahmadiyah dan Operasi "Sajadah"

Masih hangat dalam ingatan kita tentang ditetapkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung sebagaimana yang kita kenal dengan istilah SKB 3 Menteri. SKB sendiri merupakan bentuk ketegasan pemerintah menyoal permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indoneisa (JAI) yang ditetapkan pada hari Senin, Tanggal 9 Juni 2008. Adapun isi dari Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008) tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, adalah sebagai berikut :

Kesatu:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran itu.

Kedua:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga:
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

Keempat:
Memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI.

Kelima:
Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum keempat dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keenam:
Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.

Tindak lanjut dari adanya SKB tersebut adalah lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) di daerah Jawa Barat (Pergub Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Jawa Barat), Jawa Timur (Surat Keputusan (SK) Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur), Banten (Pergub Nomor 5 Tahun 2011 tentang larangan aktivitas anggota jemaat Ahmadiyah di wilayah provinsi), Sumatera Barat (Pergub Nomor 17 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah Sumtera Barat), dan sejumlah daerah lainnya. Adapun berbicara mengenai Operasi “Sajadah” adalah suatu bentuk implementasi dari produk kebijakan diatas, yang secara konstitusi diperkenankan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah terdapat beberapa pihak yang mempermasalhkan keabsahan SKB 3 Menteri dan Peraturan Daerah (Perda) atau Pergub tersebut, seperti halnya pemberitaan yang dilakukan oleh Media Indonesia dan Metro TV terkait editorial berjudul “Negeri yang Terbolak Balik” pada tanggal 16 Maret 2011, yang dianggap tidak aktual dan kredibel serta begitu tendensius memojokan mayoritas perasaan umat Islam. Sehingga, pembertitaan semacam itulah serta hal-hal terkait lainnyalah yang kerap kali dan terus menerus memecah kerukunan umat Islam pada khususnya dan umat beragam pada umumnya.

Sebagaimana yang diutarakan dalam bedah Editorial Metro TV dan Media Indonesia pada tanggal 16 Maret 2011, yang secara tendensius meragukan keabsahan produk kebijakan daerah dan SKB 3 Menteri merupakan suatu hal yang wajar apabila dilihat dalam konteks Konstitusi UUD RI 1945, karena memang sejatinya diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUD RI 945, bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Namun, yang perlu dipahami permasalahan Ahmadiyah adalah permasalahan penodaan agama karena telah melakukan interprestasi yang menyimpang dari keyakinan (aqidah) atau pokok-pokok ajaran islam sebagaimana fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Memang fatwa MUI tidak termasuk hirarkhi hukum positif Indonesia, namun kedudukanya adalah sebagai sumber ketetapan (ijm’ ulama) dalam menjalankan keyakinan dan ibadah bagi umat islam Indonesia. Sehingga, patutlah bagi Ahamdiyah yang telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari pokok-pokok ajaran Islam untuk mendapat peringatan dan tuntutan untuk kembali kepada ajaran Islam sebagaimana mestinya. Jika Ahmadiyah keberatan dan terus berlindung dibalik konstitusi UUD 45 Pasal 29 ayat 2, prinsip-prinsip Bhineka Tungga Ika, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejatinya tidak pada tempatnya dibahas dalam permasalahan ini, maka tentu Ahmadiyah telah nyata-nyata melakukan penistaan agama dengan bukti pengakuan adanya Nabi baru yaitu Mirza Gulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah), yang mana hal ini bertentangan dengan keyakinan umat Islam pada umumnya dan telah terang-terangan melanggar UU no. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaa dan/ atau Penodaan Agama.

Terkait mengenai Perda atau Pergub yang melarang aktivitas Ahmadiyah oleh beberapa Kepala Pemerintah Daerah, adalah sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2010 tentang Otonomi Daerah dinyatakan bahwa persoalan agama merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun, pemerintah provinsi merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2010 tentang Kewenangan Gubernur. Dalam aturan ini dijelaskan bahwa gubernur memiliki kewenangan untuk membuat peraturan sendiri perihal daerahnya, termasuk perda tentang Ahmadiyah. Meski peraturan tentang agama sebenarnya menjadi kewenangan pusat, atas perintah SKB 3 Menteri, pemerintah provinsi menegaskan kembali dengan menerbitkan Pergub seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya. Oleh karena itu, ini tidak ada yang salah dengan Perda atau Pergub tersebu. Bahkan, keharidan Pergub tersebut justru dapat melindungi kepentingan hak asasi manusia bagi pengikut Ahmadiyah dari tindak kekerasan yang mengancam keselamatnya sesuai SKB 3 Menteri No. 3 tahun 2008. Karena jika pengikut Ahmadiyah mematuhi 12 butir pernyataan dan kesepakatannya sendiri serta mematuhi SKB 3 menteri untuk tidak melakukan aktivitas Ahmadiyah. Maka secara otomatis umat Islam yang kontra dengan Ahmadiyah tidak punya alasan untuk melakukan pengrusakan dan tindak anarkis lainya terhadap jamaah Ahmadiyah. Dengan demikian terjadi rasa aman. Adapun ke-12 Pernyataan JAI, yang kerap kali dilanggarnya sendiri adalah :

1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah ;

2. Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup) ;

3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW ;

4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah ;

5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa :
1. tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad ;
2. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani ;

6. Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908) ;

7. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan ;

8. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah ;

9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun ;

10. Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan ;

11. Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ;

12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.

Permasalahan lainnya yang menyebabkan semakin runcingnya isu SARA Ahmadiyah ini bukanlah terkait pelaksanaan Operasi “Sajadah” sebagai mana yang dihembuskan baru-baru ini. Namun, permasalahan utama adalah tidak tegasnya sikap pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY sehingga munculah produk kebijakan SKB 3 Menteri dan sejumlah Perda yang kerap dikonfrontir oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, Presiden SBY telah bertindak inkonstitusi, dengan tidak bertanggung jawab dan mengambil sikap atas permasalahan Ahmadiyah hanya karena Presiden SBY takut dianggap tidak pro demokrasi dan takut melanggar HAM. Akibatnya, niat baik itu justru sangat fatal bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena ternyata Alhamdiyah telah menyimpang dan telah melakukan penodaan agama Islam. Sehingga muncul gejolak sosial dan mengganggu ketertiban umum. Seharusnya Presiden mengambil hak politiknya untuk menerbitkan surat Keputusan Presiden tentang larangan Ahmadiyah di Indonesia dan pengurus Ahmadiyah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama islam sesuai UU no. 1 tahun 1965 dan KUHP 156 a jo. Pasal 55 tentang penistaan agama secara bersama-sama. Sehingga, wajar kiranya apabila timbulnya gejolak sosial bermuatan agama ini disebabkan oleh lemahnya sikap pemerintah dalam bertindak.

Namun, Jika saja Presiden SBY sejak awal segera membuat Keputusan Presiden tentang larangan Ahmadiyah, maka dipastikan umat Islam akan terjaga kerukunanya. Tidak terganggu oleh isu-isu SARA yang selama ini justru seperti dipelihara untuk memojokan umat Islam Indonesia, misalnya kejadian di Cikeusik, Presiden malah membuat pernyataan bahwa ormas anarkis harus di bubarkan. Ini seperti “gatal dipunggung, tapi kaki yang digaruk”. Apabila sikap Presiden seperti ini terus, maka kesan dimasyarakat bahwa presiden adalah penganut Islam Ahmadiyah. Benarkah? Mestinya presiden secara konfrehensif mengambil keputusan untuk segera menerbitkan KEPRES larangan Ahmadiyah dan mengadili pimpinan Ahmadiyah dengan tuduhan penodaan agama Islam sesuai UU no. 1 tahun 1965. Organisasi JAI dibubarkan dan pengikutnya diberikan perlindungan dan bimbingan oleh instansi/lembaga berkompeten. Bukan malah diintervensi oleh pihak Jaringan Islam Liberal (JIL) yang saat ini justru mendapat simpati publik atas peristiwa bom buku yang meledak dan mengakibatkan seorang anggota POLRI luka parah. Sayangnya presiden hampir sudah dipastikan tidak akan berani menerbitkan KEPRES itu hingga akhir jabatannya pada tahun 2014 nanti, karena takut dicap oleh pihak luar negeri sebagai anti demokrasi dan anti HAM. Rupanya presiden pun lebih loyal kepada pihak asing dari pada loyal kepada umat Islam Indonesia sendiri. Presiden lebih memilih “amal jariyah” membela Ahmadiyah yang jelas-jelas sesat, dari pada memilih “amal jariyah” kekuasaanya untuk melindungi umat Islam dari sesatnya Ahmadiyah.

Sejatinya problematika SARA diatas tidak lah perlu terjadi apabila negara ini, terutama pemerintahannya diisi oleh orang-orang yang bertanggungjawab, serta menjalankan Islamnya secara fungsional. Sehingga, para pemimpin negeri ini melakukan suatu perubahan yang revolusioner dengan merubah atau mengganti penerapan hukum kolonial Belanda beserta sistem hukum dan HAM-nya sekaligus, dengan sistem hukum dan HAM-nya yang sesuai dengan Pancasila, sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, serta ketentuan :

UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah Negara hukum;

dan UUD 1945 Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara;
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.

Makna yang terdalam dari perubahan ini adalah mengacu kepada sila ke-1 Pancasila kemudian dikuatkan oleh Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika menurut Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah Swt. Adapun Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) adalah:

Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” ;

UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Jadi, konsekuensi logisnya Negara Republik Indonesia harus mau dan rela diatur oleh hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., serta dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan menurut selera para penguasa yang sedang berkuasa dan juga harus menjaga keutuhan NKRI sebagaimana perintah sila ke-3 Pancasila.

Sedangkan mengenai pelaksanaan Operasi “Sajadah”, janganlah dipandang sebagai sesuatu yang melanggar Konstitusi, melanggar Kebhinekaan, melanggara HAM atau bahkan hingga dituduh sebagai suatu upaya intimidasi dan provokasi. Namun, hal tersebut haruslah dipandang sebagai suatu hal yang positif sebagai bentuk itikad atau niat baik kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menyadarkan para pengikut Ahmadiyah dari kesesatan serta untuk menjaga dan menciptakan ketertiban dan kerukunan umat Islam dan antar umat beragama pada umumnya.

Kamis, 24 Maret 2011

Indonesia Negara Sekuler? Siapa Tuhannya?..

Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, hal ini adalah fakta yang tak terbantahkan sejak zaman penjajahan dulu hingga saat ini. Istilah muslim digunakan untuk mereka, orang-orang yang menganut kepercayaan (agama) Islam, yaitu suatu agama yang bertuhankan Allah SWT dengan Nabinya yaitu Nabi Muhammad SAW. Apabila kita mendalami norma-norma kehidupan yang terdapat dalam agama Islam yaitu dalam Al-qur’an kitab agama Islam itu sendiri, maka dapat kita ketahui dan kita sadari bahwasanya setiap bentuk kehidupan dan cara-cara menjalani kehidupan tersebut telah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT dalam ayat-ayat sucinya tersebut, mulai dari kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya, kehidupan manusia dengan sesama makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, hingga kehidupan antar sesama manusia itu sendiri baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang disebut dengan yang namanya Hukum Islam atau Hukum Allah SWT.

Namun, satu hal lagi kenyataan atau fakta yang terjadi di Indonesia semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yaitu bahwa dari dulu hingga saat ini bangsa Indonesia yang mayoritas muslim tersebut belum pernah beranjak sedikitpun dari istilah negara berkembang, sehingga sering kali Indonesia diperlakukan layaknya “anak bawang” oleh negara-negara besar lainnya, dan oleh karena itu sangatlah wajar negara Indonesia yang sampai saat ini masih terlilit hutang miliaran dollar kepada negara-negara besar tersebut menjadi negara yang tidak maju atau negara berkembang yang tidak berkembang, bahkan dalam bidang-bidang tertentu negara kita ini mengalami degradasi atau penurunan seperti halnya dalam bidang pendidikan yang kiranya pada tahun 1960-an negara kita merupakan negara pemasok tenaga ajar (guru) kepada negara-negara tetangga khususnya Malaysia, atau lebih tepatnya banyak pelajar-pelajar dari negara lain yang datang ke Indonesia untuk menuntut ilmu di Indonesia, akan tetapi dengan sangat bersedih harus kita akui bidang pendidikan kita sudah sangat jauh tertinggal, dan bahkan sekarang seringkali kita yang membutuhkan tenaga ajar dari Malaysia atau mengirimkan pelajar-pelajar kita kesana. Dan yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hal seperti ini bisa terjadi kepada bangsa Indonesia?.

Banyak asumsi-asumsi yang dapat menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi, seperti halnya apa yang akan saya utarakan disini. Pertama, seperti apa yang pernah disampaikan presiden Soekarno dalam salah satu pidatonya yaitu “bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat mengenang jasa-jasa para pahlawannya”. Masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis sampai saat ini kenyataannya masih belum bisa menghormati jasa para pahlawannya. Meskipun dalam satu tahun sekali kita memperingati Hari Pahlawan, yaitu tepatnya pada tanggal 10 November. Akan tetapi hal tersebut hanyalah suatu formalitas belaka, karena seharusnya essensi yang sebenarnya dari mengenang dan menghormati jasa para pahlawan adalah berupa pemahaman atas dasar nilai-nilai sejarah, dengan kata lain bangsa yang besar merupakan bangsa yang mampu mengambil pelajaran dari sejarah, tentunya sejarah secara umum tidak hanya pada sejarah bangsanya saja. seperti apa yang tertera dalam Al-qur’an surat Al-fatehah ayat 6 dan 7 yang artinya adalah “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang terdahulu yang telah engkau beri nikmat kepadanya, dan bukan jalan mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat”. Apabila kita memahami secara mendasar dari pengertian ayat diatas maka sesungguhnya bangsa Indonesia haruslah mampu mempelajari sejarah (orang-orang terdahulu), dalam hal ini sejarah yang telah membentuk bangsa Indonesia itu sendiri, dan yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang membentuk bangsa Indonesia, apabila kita mempelajari sejarah ini? Pertanyaan ini akan dijawab diakhir kelak.

Kedua, dengan mengutip perkataan presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy yang disampaikan dalam orasi pidato kenegaraannya yaitu “jangan kau tanya apa yang negara berikan untukmu, tapi tanyalah apa yang kau berikan untuk negara”, kalau kita merenungi pernyataan ini dan melihat kenyataan yang terjadi pada saat ini, sesungguhnya sangatlah bertolak belakang dimana fenomena yang terjadi di negara Indonesia saat ini, justru para pemimpin-pemimpin bangsa lebih banyak meminta daripada memberi, hal ini dapat kita lihat dari fenomena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada saat mereka meminta kenaikan gaji berbarengan dengan kondisi bangsa dan rakyat Indonesia yang pada saat itu sedang terpuruk karena bencana alam, naiknya harga bahan pokok dan pangan (minyak goreng) dan lain-lainya, selain itu justru petinggi-petinggi negeri inilah yang hendak menghancurkan negeri ini sendiri dengan perbuatan-perbuatannya yang hina mulai dari korupsi yang semakin merajalela sampai kasus pornoaksi yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat negara. Kalau saja setiap pihak baik masyarakat maupun pemerintah mau berkontribusi dan berkorban secara ikhlas tentunya Tuhanpun akan memberkati dan menolong negara kita ini, karena pada dasarnya konsep bernegara merupakan sesuatu yang padu dengan agama dimana Allah SWT telah mengatur kehidupan bernegara yang baik dan benar yang akan membawa kita kepada keselamatan baik di dunia dan di akherat.

Asumsi yang ketiga adalah asumsi yang berkaitan dengan asumsi yang pertama dan kedua, dimana seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya konsep bernegara tidaklah bisa kita pisahkan dari kehidupan beragama kita dan dari aspek sejarah yang kita miliki, seperti apa yang tertuang dalam Pancasila sila pertama yaitu bahwa Bangsa Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan YME, hanya saja timbul pertanyaan siapa Tuhan bangsa Indonesia sesungguhnya?, dijawab dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945, yaitu “..dengan rahmat Allah SWT, menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan..”, dari kalimat ini dan apabila kita mengingat peristiwa piagam Jakarta maka dapat kita lihat bahwa pada dasarnya, para perumus negara (foundings father) ini yaitu orang-orang terdahulu kita sejatinya telah menyadari dengan sangat bahwa kemerdekaan tidak akan dapat diraih tanpa ridho dan rahmat Allah SWT, dan tentunya jasa para pahlawan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita sadari bahwa Tuhan bangsa Indonesia adalah Allah SWT.

Selain itu juga bila kita mau membuka mata dan pikiran kita, maka dapat kita sadari bahwa kehidupan bernegara merupakan salah satu aspek kehidupan yang telah diatur oleh Allah SWT melalui hukum-hukumnya yakni hukum Islam. Dan bila kita melihat dan mempelajari sejarah, maka dapat kita jawab pertanyaan sebelumnya yaitu apa yang membentuk negara Indonesia?, dari sejarah dapat kita temukan bahwa yang membentuk negara Indonesia adalah Islam. Bagaimana tidak kesemua perjuangan kemerdekan di selueruh pelosok negeri ini dipimpin oleh pejuang-pejuang Islam, mulai dari Sudirman, Imam Bonjol, Diponogoro, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan lain-lainnya, kesemuanya adalah para pahlawan bangsa kita, yang memperjuangkan kemerdekaan dengan darah dan teriakan “Allahuakbar” disetiap pertempurannya. Hal inipun menguatkan asumsi sebelumnya bahwa Tuhan yang paling layak disembah oleh bangsa Indonesia adalah Allah SWT, dan oleh karena Allah SWT mempunyai ketentuan yang mengatur kehidupan bernegara yaitu hukum Islam atau hukum Allah SWT, maka sebagai wujud rasa terima kasih kita dan rasa syukur kita sudah seharusnya hukum Islam itu kita terapkan di negara ini. Karena Allah SWT juga menegaskan dalam surat Muhhammad ayat 7, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Namun kenyataannya, jangankan pemerintah ingin menerapkan hukum Allah SWT sebagai landasan bernegara, menerapkan Pancasila sila pertamanya saja pemerintah ini tidak mau, apalagi mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Jadi dengan kata lain sampai saat ini dari dulu, bangsa Indonesia termasuk negara sekuler yang memisahkan kehidupan dunia dengan kehidupan akherat (agama). Kita ambil contoh yang paling menonjol lagi-lagi dari aspek pendidikan, dimana untuk pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai tingkat Universitas diatur oleh Departemen Pendidikan. Sedangkan untuk sekolah seperti Madrasah, Ibtidaiyah, dan IAIN diatur oleh Departemen Keagamaan, dari sini dapat kita lihat bahwa pemerintah berusaha memisahkan urusan dunia (dalam hal ini pendidikan) dengan urusan akherat. Kalau sudah begini kita tinggal menunggu saja azab Allah SWT, yang tidak lain adalah bencana-bencana alam yang akhir-akhir ini memang kerap kali terjadi. Na’udzubillah min’dzalik..

Jumat, 18 Maret 2011

Advokat Agung Republik Indonesia, Suatu Gagasan Revolusioner

Pencetusan Gagasan atau Ide membentuk suatu Lembaga Negara yang menaungi para Advokat, dalam hal ini adalah Advokat Agung Republik Indonesia (AARI) pertama kali dilontarkan oleh Advokat atau praktisi hukum kenamaan DR. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., Sepintas gagasan ini memang terdengar cukup menggelitik, mengingat secara ketatanegaraan lembaga semacam ini tidak pernah dikenal sebelumnya, terlebih belum ada acuan serupa di negara-negara demokrasi lainnya. Namun, menurut saya gagasan ini merupakan sesuatu yang wajar dan harus diberikan ruang untuk dibicarakan bersama, mengingat minimnya bantuan dan perlindungan hukum kepada masyarakat kecil, ditambah dengan sering kali terjadinya konflik antar wadah Advokat yang hingga kini tidak kunjung terselesaikan, bahkan dikhawatirkan terjadinya konflik antar Advokat. Selain itu, menurut saya gagasan tersebut sangatlah revolusioner dalam hal menuntaskan beberapa permasalahan hukum untuk menunjang profesionalisme profesi Advokat dan memaksimalkan peranannya dalam penegakan hukum secara adil dan merata, terutama dalam hal mengaplikasikan kewajiban dan tanggung jawab profesi Advokat dalam hal memberikan bantuan hukum, yang mana dengan terbentuknya AARI diharapkan mampu memenuhi amanat UUD RI 1945, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, selain itu pula AARI bertujuan untuk melengkapi unsur yudikatif dalam sistem pemerintahan Indonesia ke depan, yang mana Lembaga Negara tersebut merupakan Lembaga Negara yang setara kedudukannya dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, serta Kepolisian Republik Indonesia. Keberadaan AARI pun diharapkan mampu pula menempatkan dunia Advokat pada posisi yang proporsional, profesional dan lebih bermartabat. Selain itu diharapkan pula melalui AARI mampu memberikan advokasi kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Harapan lebih besar saya tempatkan kepada keberadaan AARI ini agar mampu menempatkan Advokat dalam posisi yudikatif terkait konteks pembagian kekuasaan negara, terlebih lagi idealnya saya berharap Lembaga Negara lainnya seperti Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung dapat pula dimasukan dalam kategori lingkup yudikatif, bukan dibawah eksekutif. Sehingga, dengan demikian konsep dasar Trias Politica seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa berjalan seimbang dan fungsional untuk kesejahteraan rakyat. Singkat kata, kehadirat Advokat Agung Republik Indonesia dapatlah memberikan keseimbangan antara kesehatan fisik dan kesejahteraan batin bagi masyarakat, yaitu berupa diperlakukannya seluruh masyarakat dengan seadil-adilnya, karena terjaga dan terurus segala kepentingan atau penderitaan di dalam memperjuangkan atau mendapatkan hak-hak hukum yang melekat secara hak asasi manusia pada diri masyarakat Indonesia seluruhnya.


Oleh karenanya, AARI ini haruslah bertujuan untuk menempatkan rasa keadilan sebagai sesuatu yang utama atau tertinggi dalam penegakan hukum serta melayani keadilan untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan warga dunia lainnya. Karena, apabila kita menganalogikan profesi Advokat dengan profesi Dokter, sejatinya tidak ada yang berbeda hanya saja profesi Dokter membantu masyarakat dibidang kesehatan sedangkan Advokat dibidang hukum. Namun, profesi Dokter kerap kali mendapatkan tempat tersendiri di mata pemerintah dengan menyediakan fasilitas penunjangnya hingga kedaerah pedesaan melalui keberadaan Puskesmas atau Posyandu, dimana kemudian Pemerintah mengakomodir dokter-dokter untuk mengisi puskesmas dalam melayani kesehatan rakyat. Sedangkan, tidak pernah kita mendengar pemerintah mengakomodir kehadiran para Advokat di pelosok kampung yang bertujuan untuk melayani kebutuhan rasa keadilan bagi masyarakat desa, padahal sejatinya kebutuhan rasa keadilan maupun kesehatan jasmani merupakan hal yang serupa dan penting serta dijamin berdasarkan UUD RI 1945 yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari negara, dalam hal ini Pemerintah. Selain itu pula, Selama ini masyarakat menganggap berurusan dengan Advokat harus mempunyai uang yang banyak, sehingga masyarakat pada umumnya terutama di pelosok desa yang hidupnya di bawah garis kemiskinan enggan berhubungan dengan Advokat ketika hak-hak hukum mereka direnggut oleh ketidakdilan, maka mereka lebih memilih pasrah untuk dizalimi, karena tak berdaya, hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab Negara untuk melindungi rakyatnya serta menjamin hak-hak hukumnya, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD RI 1945.

Sehingga, apabila Lembaga Negara AARI ini berdiri, maka institusi tersebut dapat memiliki peran untuk menempatkan para advokat di daerah-daerah terpencil, dimana dapat pula dibentuk Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di setiap pelosok desa layaknya Puskesmas/Posyandu. Selain itu, dengan adanya Lembaga Negara AARI ini juga akan menghilangkan kerancuan dalam menentukan lembaga yang menjadi Advokat Negara. Karena, apabila selama ini Kejaksaan Agung berperan ganda, selain sebagai Jaksa Penuntut tetapi juga disatu sisi berperan sebagai Advokat Negara, maka akan sangat bertolak belakang dan berbenturan apabila dilihat dari sisi kepentingan dan tanggung jawab profesinya, dimana di satu sisi kejaksaan adalah lembaga penuntutan, namun di sisi lain, juga menjadi Advokat Negara, yang tidak lain adalah pembela hak-hak hukum. Akan tetapi, dengan hadirnya Lembaga Negara AARI ini, diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan tersebut serta terutama bagi penyelesaian konflik dualisme wadah para Advokat yang hingga kini masih tidak terselesaikan. Oleh karena keberadaan AARI ini akan juga berperan sebagai Lembaga Negara yang menaungi wadah para Advokat, dimana setiap permasalahan para Advokat kelak tidak harus diselesaikan melalui Mahkamah Agung (MA), tetapi melalui AARI ini. Karena biar bagaimanapun seorang Advokat harus memiliki posisi atau kedudukan yang sama dengan Jaksa, Hakim, dan Kepolisian. Sehingga, apabila MA yang mengatur Advokat, berarti tidak ada kesetaraan diantaranya dan Advokat merupakan profesi yang berkedudukan di bawah MA.

Oleh karena begitu signifikannya peranan yang dapat diberikan AARI, maka gagasan ini harus dijadikan wacana yang serius untuk nantinya direalisasikan sesedera mungkin oleh pemerintah sebagai suatu solusi dari carut marutnya hukum di negara Indonesia ini. Namun, tentunya terealisasinya gagasan ini akan memiliki banyak implikasi dan konsekuensi yuridis dan sosiologis, antara lain munculnya Lembaga Negara baru dengan segala infrastrukturnya dan juga APBN yang perlu dianggarkan oleh pemerintah bersama-sama DPR RI demi memikirkan dan memperjuangkan tegaknya rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat atau perintah doktrin yang kita junjung tinggi yaitu sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dari Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia ini. Sehingga, apabila bangsa Indonesia dalam hal ini khususnya Pemerintah dan DPR RI konsisten menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara yang harus dijalankan secara murni dan konsekuen, maka lembaga AARI tersebut merupakan suatu keharusan yang harus dengan sesegera mungkin diwujudkan kehadirannya. Hal ini pun merupakan bagian dari konsistensi Pemerintah bahwa bangsa Indonesia telah memilih bernegara dengan menganut sistem Trias Politica dan berdemokrasi.

Rabu, 23 Februari 2011

ADVOKASI HUKUM JURNALIS : PERAN JURNALIS DALAM SUPERMASI HUKUM

PENGANTAR

Pasal 28F UUD RI 1945 :

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Berangkat dari ketentuan Konstitusi tersebutlah menjadi dasar dari pentingnya peran penulis dan para jurnalis untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat melalui penyampaian berita-berita yang faktual dan berkualitas, hal mulia ini tentunya yang menjadi salah satu landasan dari kehadiran beragam Organisasi Jurnalis, yakni suatu kewajaran bahkan keharusan berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28 yang menggariskan :

“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal tersebut pulalah yang mendorong disusunnya suatu Undang-Undang yang menjamin kebebasan untuk berpendapat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan sesuatu hal yang penting yang harus dilindungi. Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kegiatan jurnalisme tersebut diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Begitu pentingnya arti suatu kebebasan mengutarakan atau menyampaikan pendapat yang dalam hal ini diartikan sebagai kebebasan atau kemerdekaan pers tentunya membuat para penulis dan jurnalis memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun Negeri ini, tidak terkecuali dalam hal supremasi hukum atau penegakan nilai-nilai keadilan dan norma hukum di Indonesia, karena pada dasarnya kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Oleh karena itu, perlu kita sadari bersama bahwasanya kemerdekaan pers tersebut haruslah dijalankan dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers tersebut merupakan kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi oleh para penulis maupun jurnalis lainnya yang disertai dengan hati nurani insan pers dalam menjalankan profesinya tersebut.


POKOK PERMASALAHAN


Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi :

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 dan 12 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yaitu :

Butir 11

“Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya”.

Butir 12

“Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain”.

Dimana hal tersebut dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan/atau oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara, disinilah salah satu peran penting yang dapat dilakukan seluruh Organisasi Jurnalis yakni menjadi organisasi kontrol sosial (organization social control) yang memantau serta melindungi tidak hanya kepentingan para jurnalis maupun penulis tetapi juga kepentingan keadilan di masyarakat serta norma-norma hukum yang ada.

Sebagai suatu wadah organisasi bagi para penulis dan jurnalis tentunya harus menghormati kode etik jurnalistik yang ada, antara lain sebagaimana berikut :

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar ;

2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar ;

3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya ;

4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya ;

5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat ;

6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen ;

7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo ;

8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat ;

9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur ;

10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya ;

11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat ;

12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual ;

13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi ;

14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan. (Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik) ;

15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak ;

16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik ;

17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas ;

18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

Dengan ditegakkannya kode etik profesi jurnalistik ini diharapkan mampu menghasilkan para penulis dan jurnalis yang tentunya memiliki kualitas insan pers yang berkualitas.

Kerap kali terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik pada prakteknya baik yang dilakukan oleh sumber berita, pemerintah maupun para insan pers itu sendiri dan ketika seorang insan pers bermasalah dengan pemberitaannya, yaitu sumber/objek pemberitaan merasa keberatan dengan pemberitaan atau cara-cara yang dilakukan oleh jurnalis, sehingga insan pers baik personal maupun institusi selalu membawanya kedalam lingkup Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sementara sumber/objek pemberitaan selalu menuntut hal ini menjadi suatu delik pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk menambah suatu khazanah pengetahuan, perlu untuk dicermati bahwasanya terkait permasalahan seputar dampak pemberitaan tersebut dalam sudut pandang delik terbagi menjadi 2 kategori, yaitu :

• KLACHDELICT, yaitu suatu bentuk pemberitaan yang merugikan nama baik seseorang/individu karena merasa difitnah, dipojokkan dan dihina, dimana pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat menuntut surat kabar.

• PERSDELICT, yaitu suatu bentuk pemberitaan yang merugikan kepentingan umum atau negara (stabilitas) seperti melanggar ketertiban umum atau berita bohong.

Tentunya didalam KUHP terkait delik pers ini diatur dalam beragam bentuk delik seperti membocorkan rahasia Negara (Pasal 112 KUHP), membocorkan rahasia Hankam (Pasal 113 KUHP), Penghinaan terhadap presiden dan Wapres, Penghinaan terhadap raja atau wakil Negara sahabat, Penghinaan terhadap wakil Negara asing, Permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah, Pernyataan kebencian, permusuhan dan penghinaan golongan, Permusuhan, penodaan dan penyalahgunaan agama, Penghasutan, Penawaran tindak pidana, Penghinaan terhadap penguasa dan badan umum, Pelanggaran kesusilaan, Pencemaran nama baik seseorang, Pemberitaan palsu.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada umumnya insan pers tidaklah setuju persoalan pers ditarik ke delik pidana, karena insan pers menganggap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 merupakan Lex Specialis dari KUHP sebagai bentuk Lex Generalis, akan tetapi perlu untuk diketahui bahwa Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidaklah disusun berdasarkan delik hukum pidana, sehingga Undang-Undang tersebut tidak serumpun dengan Undang-Undang tentang KUHP. Selain itu, ditambahkan pula bahwa azas hukum yang berlaku umum adalah suatu perundang-undangan sederajat tidak dapat membatalkan ketentuan dalam perundangan lainnya, apalagi kedua perundangan tersebut tidak berada dalam rumpun yang sama.

Fakta diatas memperlihatkan masih mudahnya kemerdekaan mengutarakan pendapat dalam hal ini khususnya Pers untuk dikekang, meskipun Secara umum, sejak reformasi 1998, pers Indonesia relatif tidak mengalami pengekangan yang berarti, khususnya dari pemerintah. Namun bukan berarti kebebasan pers tidak mendapat ancaman. Musuh kebebasan pers Indonesia saat ini justru lebih banyak berasal dari kalangan bisnis maupun masyarakat sendiri. Kekerasan pada jurnalis, masih sering terjadi. Bahkan di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai bertiup angin dari negara untuk mengendalikan kembali pers lewat berbagai perundangan yang ada (contoh UUITE, RUU Pemilu, dll). Negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang-Undang (UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310, 311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan atau nama baik yang tercemar.
Akan tetapi andaikata seluruh insan pers, dalam hal ini IPJI pandai bercermin dan terus mengintrospeksi diri untuk kemajuan bersama dalam menjalankan profesinya dengan memegang kuat kemerdekaan pers sebagaimana yang dicita-citakan dalam UU Pers No.40 Tahun 1999, antara lain dalam :

Pasal 5 ayat (1)

“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.

Pasal 6

“Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan ;

c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar ;

d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum ;

e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran”.

Maka akan dengan mudah dihindari segala kemungkinan konflik yang sering terjadi, karena setiap insan pers selalu mempertimbangkan sisi lainnya, yaitu keadilan yang harus juga dimiliki oleh masyarakat dan sumber/objek berita.


PENUTUP

Sebagai suatu penutup, bahwasanya kemerdekaan pers bisa saja diartikan baik maupun buruk layaknya dua sisi mata uang. Oleh karena itu, dengan pembahasan diatas dan hadirnya beragam Organisasi Jurnalis ditengah-tengah masyarakat, kita berharap agar tidak ada lagi pengekangan terhadap kebebasan berpendapat atau kemerdekaan pers, akan tetapi bukan berarti kemerdekaan pers itu diartikan sebebas-bebasnya tanpa ada norma apaun yang mengayominya, karena apabila dilihat dari Pasal 28 UUD 1945 maka seharusnya insan pers dapat memahami dan mengerti dengan baik, bahwasanya kebebasan yang merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, harus pula dijalankan dengan memenuhi kewajiban untuk menghormati hak-hak warga Negara Indonesia yang lainnya secara berimbang, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.

MEMBENTUK GENERASI MUDA REVOLUSIONER

"Beri saya seribu orang tua, saya bersama mereka kiranya dapat memindah gunung. Tetapi apabila saya diberi sepuluh pemuda yang bersemangat dan berapi-api, kecintaanya pada bangsa dan tanah air tanah tumpah darahnya, saya akan dapat mengguncangkan dunia".

(Ir. Soekarno)

Pengantar

Pernyataan diatas sebagaimana yang disampaikan founding father, Ir. Soekarno seakan-akan menegaskan pentingnya peranan pemuda dan pemudi dalam membangun kehidupan ini, tidak hanya kehidupan bangsa dan negara tetapi juga kehidupan dan kelangsungan agama Islam. Islam sendiri merupakan agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda, sebagaimana perhatian yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW, yang bersabda :

“Saya wasiatkan para pemuda kepadamu dengan baik, sebab mereka berhati halus. Ketika Allah mengutus diriku untuk menyampaikan agama yang bijaksana ini, maka kaum mudalah yang pertama-tama menyambut saya, sedang kaum tua menentangnya?”.

(Al Hadist)

Al-Qur’an sendiri banyak menceritakan tentang potret para pemuda, antara lain kisah ashaabul kahfi sebagai kelompok pemuda yang beriman kepada Allah SWT dengan meninggalkan mayoritas kaumnya yang menyimpang dari agama Allah SWT, sehingga Allah SWT menyelamatkan para pemuda tersebut dengan menidurkan mereka selama 309 tahun (Q.S 18). Selain itu, terdapat pula kisah pemuda ashaabul ukhdud dalam Al-Qur’an yang juga menceritakan tentang pemuda yang tegar dalam keimanannya kepada Allah SWT sehingga menyebabkan banyak masyarakatnya yang beriman dan membuat murka penguasa sehingga ratusan orang dibinasakan dengan diceburkan ke dalam parit berisi api yang bergejolak (sabab nuzul QS ). Dan masih banyak lagi contoh-contoh kisah para pemuda lainnya, diantaranya bahwa mayoritas dari assabiquunal awwaluun (orang-orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah SAW) adalah para pemuda, sebagaimana Hadits diatas (Abubakar Ra masuk Islam pada usia 32 tahun, Umar Ra 35 tahun, Ali Ra 9 tahun, Utsman Ra 30 tahun, dll) .

Sifat-sifat yang menyebabkan para pemuda tersebut dicintai Allah SWT dan mendapatkan derajat yang tinggi sehingga kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an dan dibaca oleh jutaan manusia dari masa ke masa, adalah sebagai berikut :

1. Mereka selalu menyeru pada al-haq (QS 7/181) ;

2. Mereka mencintai Allah SWT, maka Allah SWT mencintai mereka (QS 5/54) ;

3. Mereka saling melindungi, menegakkan shalat (QS 9/71) tidak sebagaimana para pemuda yang menjadi musuh Allah SWT (QS 9/67) ;

4. Mereka adalah para pemuda yang memenuhi janjinya kepada Allah SWT (QS 13/20) ;

5. Mereka tidak ragu-ragu dalam berkorban diri dan harta mereka untuk kepentingan Islam (QS 49/15).

Namun, apabila kita menyaksikan kondisi mayoritas pemuda-pemudi Islam saat ini, khususnya para pemuda-pemudi di negera Indonesia ini maka terlihat bahwa sebagian besar pemuda-pemudi berada pada keadaan yang sangat memprihatinkan, mereka bagaikan buih dilautan yang terombang-ambing, tidak memiliki bobot dan tidak memiliki nilai dan arti.

“Maka datanglah setelah mereka generasi yang lemah, yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat, maka mereka akan menemukan kesesatan”.

(QS Maryam : 50)

Mungkin ayat diatas cukup menggambarkan bagaimana keadaan dan kondisi generasi muda saat ini yang banyak terlena oleh kehidupan atau kesenangan dunia dan kepentingan syahwatnya semata, lantas bagaimana kita dapat melakukan rekonstruksi peran pemuda ditengah-tengah krisis multidimensi yang dialamai bangsa Indonesia ini?. Dalam hal ini, Islam sebagai way of life dengan Al-Qur’an nya telah memberikan jawabannya yaitu :

"Katakanlah; Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang".
(QS Azzumar : 53)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka”.

(QS Ar-Ra’d : 11)

Dari kedua ayat Al-Qur’an diatas kiranya terjawab apa yang harus dilakukan oleh para pemuda di negera Indonesia ini agar terbebas dari belenggu krisis multidimensi yang hingga saat ini tengah menggerogoti pondasi kenegaraan bahkan menimbulkan perpecahan dan berbagai macam konflik bangsa, hanya satu kata REVOLUSI adalah jawabannya.

Problematika Pemuda Indonesia

“Pemuda adalah simbol hati yang masih jernih sehingga memiliki keyakinan dan iman yang kuat, kejujuran yang memungkinkan untuk memiliki ketulusan dan keikhlasan dalam beramal, serta semangat yang menggebu yang memungkinkan untuk beramal dengan sungguh-sungguh dan penuh dengan pengorbanan?”.

(Hasan Al Banna)

“Gelora pemuda adalah romantisme perjuangan. Mereka senantiasa hendak menunjukkan diri sebagai manusia yang berarti yang dapat memikul tanggung jawab berat. Mereka berusaha memunculkan diri sebagai manusia yang memiliki poweritas,sehingga eksistensi jiwa mudanya benar-benar memancar?”.

(Abdullah Nasih 'Ulwan)

Pernyataan Hasan Al-Banna dan Abdullah Nasih diatas menggambarkan bahwasanya betapa berpotensinya setiap diri seorang pemuda, yang memiliki potensi dan kesempatan yang begitu besar untuk melakukan perubahan atau revolusi. Namun, sayangnya hal tersebut tidaklah diikuti dengan kesadaran dan tanggungjawab yang seharusnya diemban oleh pemuda Indonesia, hal ini dikarenakan tidak adanya figur teladan di Indonesia yang ideal dan revolusioner serta dapat dijadikan panutan bagi para pemuda. Ketidakadaanya figur teladan tersebut akbiat telah hilangnya jati diri keislaman para pemimpin dan para elite muslim, rakyat pun terbelenggu dengan kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan di tengah melimpah ruahnya karunia dan rizki alam yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan luhur bangsa sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, hanya menjadi amanah tanpa makna karena langkanya para pemimpin dan elite bangsa yang revolusioner. Para pemimpin dan elite bangsa ini lebih banyak menampilkan bangsa sebagai bangsa yang tidak bermartabat dan memalukan. Bahkan bila mengikuti kriteria hadis Nabi SAW tentang orang munafik, elit bangsa ini memang lebih banyak yang munafik daripada yang mukmin (benar antara perkataan dan tindakannya).

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat”.

(HR. Bukhari)

Untuk mencari sosok teladan tersebut maka kita perlu melihat suatu ideologi yang dibawanya. Terdapat beragam macam ideologi, antara lain Ideologi Komunisme, Sosialisme, Nasionalisme, Kapitalisme atau bahkan Pancasilaisme, namun yang menjadi pertanyaanya adalah siapakah sosok yang bisa dijadikan teladan bagi orang-orang yang menganut pandangan ideologi-ideologi tersebut?. Kita semua dapat memastikan bahwa dari tampilan sosok contoh teladannya dari masing-masing ideologi tersebut pastilah tidak ada yang bisa disebut siapa sosok idealnya tersebut.

Namun, berbeda apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada ideologi Islam, maka jawabannya sangat jelas, yaitu Nabi Muhammad SAW, sosok teladan yang teruji secara sejarah kemanusiaan bahkan terpercaya dalam kehidupannya dan sejarah dunia telah mengakui bahwa Rasulullah SAW adalah sosok manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan, dimana beliau mampu menata diri, keluarganya, kerabatnya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya serta seluruh ummat manusia di seluruh dunia yang sampai hari ini ¬+ 2 milyar manusia beriman dan bersalawat kepadanya, itulah sosok teladan yang tidak terbantahkan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

(QS. Al-Ahzab : 21)

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.

(QS. Al-Ahzab : 56)

Nabi Muhammad SAW merupakan satu-satunya teladan yang sempurna yang patut dicontoh oleh segenap ummat Islam, khususnya bagi para pemuda Islam di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan beliau mampu menerapkan ajaran Allah SWT (Islam) sesuai dengan fungsinya, atau yang dikenal dengan Islam Fungsional dimana hal ini merupakan pelaksanaan dari iman, Islam dan ihsan yang mana muatannya itu berupa tata nilai yang isinya :

1. Keilmuan
2. Kejujuran
3. Keadilan
4. Kedamaian
5. Kesejahteraan
6. Ketertiban
7. Kesetaraan
8. Kemerdekaan
9. Keselamatan

Dengan demikan, dengan adanya sosok teladan dari penerapan ajaran Islam yang fungsional, maka Islam bukan lagi suatu ajaran untuk satu golongan saja. Islam merupakan ajaran dari Allah SWT yang diajarkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, kemudian disampaikan kembali oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam dakwahnya hingga sampai kepada ummat manusia pada hari ini. Dengan kata lain, Islam merupakan tata nilai yang diciptakan oleh Allah SWT yang berfungsi untuk mengatur kehidupan secara totalitas, alam dan manusia agar tercipta semua aspek kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, sampai kepada hal-hal sekecil apapun dengan baik dan seimbang. Universalisme Islam bukanlah menjadi milik rahmatan lil’ alamin, rahmat bagi seluruh semesta alam.

Islam Fungsional Sebagai Jati Diri Pemuda Revolusioner

Sebenarnya sudah banyak dan nyata bagaimana kandungan syariat Islam bisa menjadi solusi bagi berbagai permasalahan manusia, tidak terkecuali bagi permasalahan pemuda bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hendaklah dibangun satu paradigma berpikir yang benar di dalam melakukan perubahan terhadap kondisional objektif bagi bangsa yang sedang terpuruk ini. Paradigma berpikir yang dimaksud adalah kemampuan dari kaum muslimin, tidak hanya para pemuda tetapi seluruh komponen bangsa untuk melakukan Islam Fungsional yang didasari oleh kapasitas dan otoritas di berbagai strata manapun untuk bergerak dan berfungsi menjalankan ajaran Islam yang kita yakini kebenarannya. Namun satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bagaimana seorang muslim khususnya, bisa tergerak hati dan jiwanya untuk mewujudkan penerapan syariat tersebut. Karena kita semua mafhum, tidak sedikit orang Islam yang alergi, phobia, bahkan penghambat ketika syariat itu baru ingin diberlakukan.

Setiap muslim memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri untuk bermanfaat bagi orang lain. Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Melalui nilai manfaat tersebut tentunya diharapkan tumbuh insan-insan penggenap, dimana kehadirannya akan terasa menggenapkan dan ketidakhadirannya akan terasa mengganjilkan. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT :

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran”.

(QS Al Ashr 1-3)

Sementara otoritas, adalah kemampuan untuk menyuarakan dan menegakkan Islam yang diukur dari wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang muslim. Setiap muslim yang fungsional pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyiarkan dan menegakkan Islam sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah ia dengan tanganmu (kekuasaan), dan jika tidak mampu maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan lisanmu, dan jika tidak mampu maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan hatimu dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

(Al-Hadist)

Dari sisi otoritas, kaum muslimin baik dari kalangan pemuda saat ini banyak yang memiliki dan memegang struktur kekuasaan. Banyak tokoh-tokoh muslim muda yang menjadi pimpinan negara, pejabat negara, pimpinan partai politik, dan lain sebagainya. Seharusnya tokoh-tokoh Islam muda yang memegang struktur kekuasaan tersebut bisa fungsional dengan kekuasaan dan kewenangannya, mengupayakan syariat Islam yang diyakini. Namun sayangnya, mereka yang memiliki kekuasaan menunjukkan kecenderungan disfungsional, tidak menunjukkan komitmennya menegakkan syariat Islam, bahkan secara jelas sering menunjukkan ketidaksetujuannya memberlakukan syariat Islam, bahkan berperilaku “miring” dengan ketentuan syariat Islam.

Oleh karena itu, betapa pentingnya membentuk jati diri seorang pemuda menjadi seorang pemimpin yang revolusioner, karena di dalam Islam, kepemimpinan berarti sesuatu yang diikuti. Ia adalah seseorang yang mengepalai suatu jabatan kepala, suatu pekerjaan. Termasuk dalam istilah tersebut adalah khalifah, imam, komandan pasukan, dan sebagainya. Di dalam Al Quran, kepemimpinan ditunjukkan sebagai suatu karakter tertentu yang khas, yaitu bimbingan ke arah kebaikan, sifat bagi para nabi, dan sifat bagi orang-orang takwa.

Mengingat penting dan mendasarnya masalah kepemimpinan, maka dibutuhkan beberapa hal penting bagi calon-calon pemimpin dalam perspektif Islam, yaitu :

1. Pemimpin tersebut haruslah seorang yang taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW, jujur, berani, sehat, dan cerdas. Artinya, mempunyai kemampuan berfikir yang baik dan mendalam serta berperasaan tajam, sehingga memungkinkan dia untuk tidak memilih ideologi selain Islam yang akan diembannya. Selanjutnya dia akan berinteraksi dengan ideologi tersebut sampai mengkristal di dalam dirinya, dan dia siap untuk menyebarkannya ;

2. Pemimpin tersebut haruslah orang yang ikhlas dan berjuang semata-mata hanya untuk kepentingan ideologinya saja ;

3. Pemimpin tersebut haruslah memahami ide dan metode “perubahan yang benar” dan mampu mengaitkan antara ide dan metode tersebut ke dalam sebuah aksi ;

4. Pemimpin tersebut haruslah mampu menyatukan rakyatnya dalam sebuah ikatan yang “shahih” yang mampu mengantarkan kepada kemaslahatan / kesejahteraan bersama dan memimpin rakyatnya menuju jalan takwa kepada Allah SWT ;

5. Pemimpin tersebut juga mesti memiliki orientasi, strategi-taktik, dan fokus yang benar dan jelas untuk merubah keadaan yang tidak baik menjadi baik atau yang tidak kondusif Islamnya menjadi kondusif Islam fungsionalnya.

Islam fungsional sebagai jati diri seorang pemuda, pemimpin di masa yang akan datang sangatlah di tentukan dengan ciri-ciri sifat orang yang ikhlas akan imannya, sebagaimana digariskan dalam Surat Al-ikhlas, dimana manusia meyakini Allah SWT dengan sebenar-benarnya dengan ikhlas. Dalam hal ini terdapat tiga variabel untuk mengukur keikhlasan seseorang menerima Allah SWT sebagai Tuhannya, yaitu :

1. Mau dan rela diatur oleh hukum Allah SWT, yaitu syariat Islam ;

2. Siap dan sanggup menerima resiko dalam menegakan Islam ;

3. Istiqomah, yang ditandai dengan sikap :

a. Optimisme ;

b. Berani dan militan ;

c. Muth’mainah (tenang dan tentram jiwanya).

Untuk itu, perlu enam hal yang harus dilakukan oleh umat Islam, khususnya para pemuda muslimin secara bersama-sama guna mengimplementasikan keikhlasan untuk meyakini Allah SWT, yaitu :

1. Meningkatkan wibawa aqidah dengan segala resikonya ;

2. Meningkatkan wibawa keilmuan, untuk meningkatkan SDM umat Islam, khususnya para pemuda Islam ;

3. Memiliki kepemimpinan untuk mengubah keadaan agar lebih baik (Revolusioner) ;

4. Memiliki wibawa dana untuk menegakkan Islam ;

5. Memiliki wibawa fisik untuk berjihad di jalan Allah SWT ;

6. Memiliki jaringan kerja (networking) dengan semua pihak untuk menegakkan Islam.

Dengan merefleksikan Islam fungsional sebagai suatu jati diri pemuda, diharapkan mampu melahirkan para pemimpin-pemimpin yang revolusioner di masa yang akan datang, yang tentunya memiliki rasa kepedulian dan tanggungjawab yang besar bagi kemajuan Islam, bangsa dan negara. Karena di dalam setiap kepemimpinannya, mereka akan senantiasa mengerti bahwasanya Allah SWT akan memintai pertanggungjawabannya sebagai pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ;

“Pemimpin itu adalah penggembala dan dia akan ditanyakan tentang gembalanya.”

(Al Hadist)